• Welcome to WordPress! This is a sample post. Edit or delete it to take the first step in your blogging journey. To add more content here, click the small plus icon at the top left corner. There, you will find an existing selection of WordPress blocks and patterns, something to suit your every need for content creation. And don’t forget to check out the List View: click the icon a few spots to the right of the plus icon and you’ll get a tidy, easy-to-view list of the blocks and patterns in your post.

  • Oh hai! Saya kembali, tadinya mau bergunjing banyak mengenai sabab musabab hilangnya tulisan di blog ini selama nyaris 2 tahun! Serta kepulangan saya kembali ke tanah air. Tapi nanti saja… ada hal yang lebih krusial, dan itu adalah tentang: Buku!

    Langsung saja, jadi kemarin saya mengunjungi IIBF, atau Indonesia International Book Fair. Terakhir kali saya ke book fair di Indonesia hmmm… sepertinya 10 tahun lalu, sebelum saya berangkat ke Jepang. Seingat saya, book fair itu begitu menyenangkan. Walau banyak buku tua, tapi menyambangi book fair tetaplah sebuah oase. Saya ingat, terakhir kali saya ke book fair adalah setelah saya selesai tes TOEFL untuk syarat beasiswa. Mendung, hujan, dan ketika tes…performa busuk. Maka munculah ide jalan dulu ke book fair untuk menghibur hati yang gundah.

    Kala itu, kegundahan terobati. Kala itu loh ya.

    Saat ini, 10 tahun kemudian.

    Takdir membawa saya berkantor tidak jauh dari kawasan Gelora Bung Karno dan hanya butuh 15 menit berjalan untuk sampai ke JCC, tempat book fair biasanya diadakan. Ekspektasi saya sungguh tinggi, “Setelah 10 tahun, pasti kualitas buku makin ketje cetar membahana dong.”
    Melawan polusi, radikal bebas, terik matahari, serta beban ekonomi kelas menengah, dengan gagah berani, saya melangkah ke JCC.

    Dalam hati, tekad sudah membuncah “Buku! Tunggu aku… aku akan hamburkan hartaku yang tidak seberapa itu untukmu.”

    Terlihatlah banner

    IMG_1422

    “Hmmm…kok kurang meyakinkan ya ?” ujar saya dalam hati. Tapi abaikan saja, karena memang selain bibir, hati dan pikiran saya memang kejam. Oke… positif, tetap berapi-api, Mon! Tetap berapi-api.

    Masuk…
    Keliling 2 rit…
    Balik lagi…
    Berputar… berputar…
    dan

    ZONK!

    Oke! Ini murni memang Emon kejam. I am being mean here! Tapi kalau kalian tanya saya, “Worth gak sih ke international book fair?” Jawaban saya singkat, jelas, padat : Gak.
    Goler-goler aja deh di rumah, panas… dan inget, Jabodetabek lagi banyak hujan angin tiap sore. Boboks udah paling benar. Jadikan istirahat sebagai salah satu agenda penting dalam hidup Anda.

    Walau kejam, tapi saya punya argumentasi. Hal pertama adalah: SEPI! KOSHONG SODARA-SODARA!

    IMG_1424

    Ok! Kalian bisa menangkis argumentasi saya “Lah Mon, lo dateng hari kerja, siang-siang, maaph-maaph nih, Mon… ya cuman lo aja.”
    Dan saya menerima argumentasi itu. Baiklah, kalian benar… Anda benar netijen!
    Yang banyak datang adalah anak SMA, yang sepertinya berkunjung atas inisiasi dan undangan penerbit erlangga. Di booth mereka, mereka ada beberapa workshop untuk anak-anak sekolah dan cukup seru. Ada juga seminar mengenai hak cipta kepenulisan dan penerbitan, yang menurut saya sih pasti penting untuk para penulis. Itupun masih bisa dikritisi lagi oleh tante Emon yang hobi berceloteh ini, ruangan seminarnya seuprit banget di pojokan.

    Tapi ya sudahlah… itu masih bisa ditolerir. Tapi yang ini, kalian pasti gak bisa mengelak.
    Acara ini garing, kriuk-kriuk, karena minimnya variasi pada buku yang tersedia.
    Setidaknya, buat saya, tidak banyak buku yang menarik di event yang dengan jelas menuliskan “International” pada judul acaranya.
    Yang paling fatal, saya tidak merasakan kesan “internasional” pada acara ini.

    Oke, ada perpustakaan Cina, perusahaan percetakan korea, dan dua perusahaan dari Timur Tengah yang jujur aja saya gak paham mereka tuh perusahaan apa karena semua judul di boothnya pake bahasa Arab. Tapi so what ???? Mereka tidak menjual buku, buku yang mereka pajang juga… ya permisi… saya gak bisa baca.

    Jadi, ini event, internasionalnya itu sebelah mana ??? bukan karena ada booth pake bahasa wallahu’alam terus acara itu dikategorikan internasional. Saya berekspektasi ada sebuah booth toko buku yang menyajikan buku terbitan dari berbagai negara, dan please pake bahasa inggris.

    Mungkin ada ya, entah di booth mana.

    Tapi jiwa saya sudah geram dan kadung kecewa. Apalagi cuaca panas, lembab, dan saya lelah sekali karena dalam minggu ini dihajar rapat beruntun. Ekspektasi sudah besar, eh… koleksi buku sih, ini bukan mau sombong ya… sama perpustakaan mini saya di rumah juga lebih menarik perpustakaan di rumah saya sih.

    Udahlah, bilang aja Indonesian Book Fair, gak usah sok-sok bilang “internasional”.

    Kegeraman saya bertambah lagi karena saya tidak bisa menemukan buku-buku dengan topik yang saya suka: Sains populer.
    Ini juga bukan jumawa, kalian yang kenal saya pasti tahu betapa saya ini penuh amarah dan julid. Jadi kalau baca buku fiksi, apalagi romance, chicklit, teenlit, sudah pasti baca 10 menit, ngomel-ngomel 10 hari. Hanya buku non-fiksi yang bisa membuat saya diam karena saya harus berpikir dan kadang bulak-balik bukunya dan bahkan ambil sticky notes buat catetan.
    Busuknya lagi, saya pernah juga jadi ilustrator sewaktu masih muda belia dan saya punya skill yang amat terkutuk bernama : my visual long term memory is so excellent. Jadi, saya tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang judge book from its cover. Saya sudah sampai pada taraf “Hah, ini kok illustrator covernya niru gambar luna dan artemis di covernya, yaaah… illustratornya aja gak kreatif, apalagi penulisnya.”

    Gila gak!? Itu kan pribadi yang menyebalkan. Tapi memang saya semudah itu terdistraksi.
    Tapi… jika kalian mau sedikit mengikuti sudut pandang dan perspektif saya, kalian coba… coba ke toko buku di Indonesia, sadar gak sih kalau untuk buku fiksi aja, tema dan bahkan desain covernya ya gitu-gitu aja.

    Tidak bervariasi.

    Teenlit, checklit, dkk-nya berkisar dari mas-mas, mbak-mbak, long distance, atau kantor beda, ketemuan. Kalo mau yang sedih, salah satu meninggoy.
    non-fiksi, yaaaah paling temanya dua: membangun bisnis dan manajemen keuangan sama motivasi diri (yang menurut saya sih, no one can motivate yourself except your own self). Sisanya ? Kalo gak buku resep, ya tips lolos BUMN, CPNS, sama masuk PTN. Oh ya! Satu lagi yang cukup dominan. Buku agama.

    Udah itu aja, jadi hidup itu zikir, lolos PTN, lolos BUMN/CPNS, terus menemukan cinta, dan meninggoy.

    Terus manusia Indonesia tuh pada gak ada yang tertarik gitu dengan, apa kek, fisika kuantum, kimia pangan, fisiologi musang, camping di tepi niagara, pembangunan rumah di lempeng tektonik, membuat roket untuk pindah planet, apakah benar Isaac Newton pintar karena kepalanya kejedot apel. Banyak!

    Kita, makhluk-makhluk FOMO ini, tahu tentang sesuatu. Apa ya, lari misalkan. Kita ikut event-event lari, beli aneka pernak pernik untuk lari, latihan menguatkan otot kaki.
    Tapi kita tidak punya akses untuk mengetahui bagaimana sih lari ditinjau dari sisi matematika, fisika, biologi, kimia, sosial, psikologi, ekonomi.
    Atau yah, mungkin kurang kali ya.
    Hal-hal yang bagi kita yang hanya insan kepo yang gak ada niatan menjadi atlet atau peneliti untuk hal itu, sebenarnya bisa mengetahui hal tersebut dari buku. Iya gak sih? Masa’ gak ada yang sependapat sama saya sih ?

    Banyak hal yang masih misterius di muka bumi ini. Dan dengan harga tiket pesawat yang keparat mahalnya, maka opsi yang lebih ramah kantong untuk mempelajari itu semua adalah dengan membaca buku.

    Bukan mau meremehkan penulis atau penerbit di tanah air ya, tapi jika kita masuk ke toko buku di luar negeri, gak usah jauh-jauh deh, di Thailand aja atau di Singapura, kalian bisa lihat topik dan variasi buku yang mereka tawarkan lebih bervariasi.
    Gak itu lagi, itu lagi.
    Dan bentuknya juga bermacam-macam, dari full text, buku bergambar, hingga komik. Jangan lupa juga, untuk kalian yang belajar bahasa asing, sudah banyak penerbit di luar negeri yang menyediakan buku-buku novel berbahasa asing dengan judul bervariasi yang ketebalan dan pemilihan bahasanya disesuaikan dengan level kemampuan bahasa pembaca.


    Dulu, sewaktu saya kuliah, salah satu sensei reviewer disertasi saya pernah berkata, “Good writer comes from good reader.” Pemilihan topik, diksi, hingga cara penyampaian dalam sebuah karya tulis hanya bisa dilakukan oleh orang yang, bukan hanya banyak membaca, namun juga bisa menyerap, mengolah, dan mengkombinasikan intisari dari berbagai sumber. Tulisan seperti itu yang kemudian menjadi tunas gagasan-gagasan baru.

    Sensei saya yang paling baik hati di planet bumi mendidik saya untuk baca buku sampai kebawa mimpi. Dalam zemi (seminar) bulanan kami di lab, Beliau gak tanya langsung “Heh, gimana penelitian kalian yang busuk itu ?”, tapi selalu mengawali pertanyaan dengan “Bulan ini kalian baca buku apa ? Buku apa yang kalian rekomendasikan ke temen-temen kalian?” Boleh komik, novel, sampai buku serius. Rupanya hal itu menyenangkan… kita jadi bisa tahu karakter teman-teman kita dari buku yang mereka rekomendasikan. Kita juga jadi punya perspektif yang lebih luas mengenai apa aja sih hal yang terjadi di muka bumi ini. Kita kemudian jadi ingin terus mencari tahu.

    Saya mencoba berhipotesis untuk fenomena rendahnya variasi buku bacaan di Indonesia ini. Ada banyak hipotesis, tapi mungkin salah satunya adalah karena ya memang minat baca masyarakat rendah. Penerbit maupun penulis agaknya enggan mengambil risiko untuk menerbitkan buku yang terlalu keluar dari “pakem” buku yang tengah laris di pasaran.
    Kalau di pasaran yang laku tentang bisnis peternakan, yang semua penerbit akan menerbitkan tentang ternak, dari ternak domba sampai ternak magot (yakin deh beberapa dari kalian setelah ini akan browsing apa itu magot).
    Kalau di pasaran lagi hits tema-tema tentang pelakor, ya semua cerita tentang pelakor, dari yang pelakornya di kawasan urban maupun rural.

    Lalu, itu semua menjadi lingkaran setan, dengan terbitnya buku yang itu-itu saja, pembaca pun hanya terpapar hal yang itu-itu saja. Begitu terus, hingga hari ditiupnya sangkakala.

    Sudahlah rakyatnya malas membaca, dengar-dengar… akan dapat wakil presiden yang juga gak suka baca.

    Ya harus gimana ?

    Jujur, saya marah dengan adanya fenomena ini!

    Asal kalian tau ya. Dulu, waktu SD, saya sekolah di desa. Buku itu suliiiiiiiiiit sekali. SD saya saat itu harus menunggu limpahan buku dari dikbud dan itu harus menunggu berbulan-bulan. Ketika buku-buku itu datang, baca covernya aja nih, baca kata “Jakarta” aja udah membuka mata saya sebagai seorang bocah ingusan bahwa ada loooh tempat lain di muka bumi ini selain Leuwiliang, dan tempat itu namanya “Jakarta.”
    Saya ingat, betapa kala itu, saya bertanya pada guru saya bagaimana bentuk Jakarta, apa itu ibu kota? mengapa ibu kota itu ramai?

    Satu hal baru pada sebuah buku bisa menjadi jalan untuk ribuan pengetahuan baru.
    Maka bagi saya, menjadi penting bagi buku-buku yang ada di Indonesia untuk menawarkan topik dan pilihan yang lebih beragam. Karena siapa tahu, hal-hal baru yang diberikan itu akan membuka jalan untuk pembaca, entah siapa dan kapan, pada jalan hidup dan pengalaman yang lebih menarik. Yang pasti, eksplorasi pengetahuan dari buku sejatinya menjadi langkah pertama seseorang untuk mengeksplorasi dunia.

    Saya bahkan mencoba bertanya ke teman satu ruangan saya yang baik hati, Mbak Ikum… yang rupanya setelah 1 tahun kami seruangan, kami baru tahu satu sama lain bahwa kami adalah pemerhati toko buku! Jadi, kemanapun kami pergi di belahan dunia manapun, satu tempat yang wajib kami datangi adalah toko buku. Saya bertanya, “Mbak, kenapa sih minat baca masyarakat kita rendah ?”

    Beliau menjawab setidaknya ada 3 faktor: 1.) Harga buku di Indonesia itu MAHAL (dan ini saya amini sih, ini beneran amin yang paling serius), 2.) Variasi buku di Indonesia itu kurang, yang tanpa masyarakat kita sadari, mungkin mereka juga jenuh karena yang itu lagi – itu lagi, kurang banyak kebaruan, dan formatnya yang itu-itu aja, gak kayak di Jepang yang bahkan buku itu ada yang bisa disakuin (see ? apa saya bilang!), 3.) Budaya dan lingkungan, pada dasarnya memang kultur Indonesia itu adalah kultur tutur bukan kultur literasi. Budaya kita sampai turun menurun kebanyakan dari perkataan, bukan dari catatan sejarah seperti pada di Eropa. Yang agak mending itu ya kawasan pantura jawa, mereka ada punya banyak catatan sejarah yang beneran ditulis, seperti misalnya babad tanah jawi hingga hal kayak serat centhini. Makanya, provinsi dengan minat baca tertinggi itu kalo gak salah di Yogyakarta.

    Dan rupanya bener dong kata Mbak Ikum, emang harus sungkem ke Beliau

    Untitled

    Udah ah, kita tinggalkan Mbak Ikum (makasih ya, Mbak) takut kalian semua ngefans.

    —-

    Saya sudah puas ngomel-ngomelnya.
    Apakah saya pulang dengan tangan kosong?
    Oh tidak, untungnya ada booth kompas yang menawarkan buku-buku yang cukup menarik perhatian saya. Saya beli dua buku ini. Keduanya menawarkan hal-hal “baru” yang saya belum ketahui banyak.

    IMG_1425

    Goresan Malam; merupakan sebuah catatan apik dari wartawan kompas yang merangkum sejarah dan filosofi batik-batik yang ada di Indonesia. Sebuah buku yang menurut saya langka, dan akan menjadi sebuah “aset” untuk pecinta buku yang juga merupakan pecinta seni. Kita, sebagai orang Indonesia, seringkali tidak mengetahui banyak terkait budaya Indonesia, dan buku ini membawa kita pada kesadaran betapa kayanya budaya Indonesia bahkan jika ditilik hanya dari batik. Saya yang sudah menyambangi banyak toko buku, merasa buku ini akan menjadi koleksi menarik. Dan jika kalian ‘FOMO’, hey! Percayalah, setelah membaca buku ini kalian bisa memulai percakapan dengan “Eh, tau gak sih beda batik pesisiran Cirebon sama Madura ?”
    Bagaimana, menambah level ketampanan/kecantikan Anda satu strip kan ?

    Bioetika; jujur ini hal yang cukup baru sih, setidaknya untuk saya. Jika kalian dokter atau peneliti di bidang biologi dan kimia mungkin hal ini lebih familiar. Namun, oh tidak untuk saya. Saya selalu ingin tahu, perkara-perkara seperti suntik mati, donor sperma, donor organ, pembekuan sel telur, itu tuh boleh gak sih? Kita gak bicara hukum agama aja di sini, ini kan permasalahannya adalah kebutuhan untuk hal-hal itu ada, dan makin meningkat. Masa’ hal seperti itu harus dianggap tabu terus menerus, gak mungkin kan. Cepat atau lambat, kita akan sampai pada masa ketika hal-hal seperti ini akan menjadi hal yang cukup lumrah pada komunitas kita. Buku ini mencoba untuk menjelaskan bagaimana dinamika bioetika tersebut di Indonesia. Namun sayang, penulisannya masih terlalu “ilmiah”, padahal akan lebih menarik jika dikemas dalam penulisan yang lebih populer dengan lebih banyak studi kasus.

    Gimana, menarik kan? I told you. Dan saya menunggu lebih banyak buku dengan pembahasan yang bisa memberikan efek “Oh… gitu!” kepada saya dan kita semua.

    Dan untungnya lagi, pulang masih ketemu nasi rawon. Lumayan lah, daripada gigit sandal.

    IMG_1427

    Ngomong-ngomong….Konon, kalau kita punya impian, harusnya sih gak boleh bilang-bilang ke orang lain. Tapi jiwa ini sudah terlalu geram.
    Melihat hal ini semua, saya ingin kembali mendalami kemampuan bahasa asing saya, termasuk bahasa Perancis dan Jepang. I want to be a translator.
    Bukan karena saya jumawa ya dengan kemampuan saya yang gitu-gitu aja. Tapi, ada beberapa bagian dari jiwa saya ingin memperkenalkan bacaan yang menarik dan menyenangkan dari berbagai belahan dunia. Saya ingin banyak orang memahami mengapa membaca sangat menyenangkan.

    Saya mencintai buku dan membaca, jauh sebelum saya mencintai musik dan seni. Dan buku yang membawa saya jatuh cinta dengan banyak hal.

    Semoga Tuhan mengizinkan ya. Maaf loh, Ya Allah kalau hamba mintanya macem-macem. Gak apa ya ? Pleasseeeeeee….

    Oh bentar, sebelum pamit undur diri…Ini pesan saya untuk kalian book lover yang sekarang masih kuliah atau tinggal di LN : GOTONG BUKU KALIAN PULANG KE TANAH AIR!
    Jangan hiraukan bea cukai, mereka tidak tahu kalau tumpukan buku kalian itu, belum tentu bisa kalian temukan di Indonesia.
    Catat petuah saya ini dengan tinta emas, kalau perlu print, figura, gantung di tembok!!! Camkan itu!!!

  • Untuk yang malas membaca tulisan ngawur saya, ini ini ini…. saya coba berbicara hal ini melalui video. Versi podcastnya nanti menyusul 🙂

    Terima kasih sudah meluangkan waktu 🙂

  • Di tengah kehebohan semesta terhadap pernyataan seorang influencer cerdas tentang faedah child-free dan kekerasan hatinya untuk menentang pendapat yang tidak seragam dengannya, sesungguhnya terjadi pula perdebatan lainnya di sebuah pojok planet bumi, antara saya dan alien dari planet uranus. Kita sebut saja moja-moja.

    Me: I am right…!
    Moja-Moja: Oh no way! Wake up, you are wrong, and you are too much!
    Me : You are heartless! (mulai drama, pake tetes-tetes airmata dikit)
    Moja-Moja: You! do not only use your heart, use that head too for something other than math! Open you EYEEEZZZ!

    Setelah menangis, meraung, menghabiskan satu nampan pizza dan sepanci rendang (padahal harus diet ketat), kami sampai pada sebuah kesepakatan. Tidak ada yang salah dari kami, secara mengejutkan… kami semua benar! Ini hanya perkara sudut pandang. Lalu kami hanya terdiam… “Jadi kita tuh ngapain sih tadi ? hah? ”

    saya jadi belajar suatu hal yang amat berharga:

    “Semua perkara di muka bumi ini hanya perkara sudut pandang”

    Sebuah hal yang mungkin luput dari perhatian Mbak Influencer pintar nan awet muda. Bahwa walau stand point Beliau ini sungguh masuk akal, namun bukan berarti itu adalah sebuah kebenaran absolut. Karena hidup manusia dan segala keputusannya, tidak bisa diformulasi secara matematis begitu saja.

    Child free bikin lo yang udah 30’s terlihat lebih muda. Omong kosong apa itu? Anda terlihat lebih muda karena ada endorse skin care! hey ya influencer! Normal 30’s are prone to encok! You know? You know? Apalagi kalau jadi tulang punggung keluarga, atau harus kerja sambilan ini itu syalalalallala.
    Mama saya juga kalau semisal dikasih endorse SKII dan perawatan kulit ala mbak Titi Dj juga pasti gak akan kalah bening sama Mbak Utada Hikaru. I mean, come on! Perdebatan itu sangat pepesan kosong banget loh. Masa’ kepalanya tuh gak bisa memikirkan parameter-parameter eksogen lainnya yang mempengaruhi tingkat kecantikan seorang wanita, or whatever lah mau nyebut apa.

    Dan sebenernya, saya tuh ngerasa, Mbak Influencer ini sebenarnya bisa case-closed jika pas dipuji tinggal bilang: terima kasih, titik.
    Kelar! Lah kenapa jadi bawa-bawa masalah kecantikan syalalalalalla de childfree? Mohon maaf apa urusannya?

    Saya belum punya anak, single, keliatan muda sih… iya… jelas… namun renta, dan random. Kayaknya teman-teman saya yang sudah berumah tangga banyak yang life quality-nya lebih rapi dan teratur deh.

    Mari…Mari… mari sobat semua! saya ajak Anda melihat kehidupan riil! Seorang Wanita single, 30-an, belum punya anak… dan hidup tidak teratur. Ayok… mari-mari-mari- kita room tour dikit.

    Yak jemuran kering yang belum dilipat ya sodara-sodara…karena sampe rumah udah encok.

    IMG_1165

    Tumpukan piring yang “Aku bertekad akan mencucinya…” namun akhirnya males dan ketumpuk-tumpuk juga.

    IMG_1166

    Meja kerja yang astagfirullah berantakan tapi kok ya kerja gak beres-beres

    IMG_1164

    koleksi obat sakit kepala, balsem, kompresan, koyo… obat maag juga, klo lambung terpaksa kosong

    IMG_1167

    koleksi Indom*e, kalau males masak (walau lambung, liver, semua udah meletoy, tapi yang penting perut keganjel).

    IMG_1168

    Anda lihat sendiri kaaaan? Let me tell you ladies and gentlemen, madame et monsieur! Mama saya yang punya anak dua bahkan punya keteraturan hidup dan manajemen waktu yang lebih efektif dan efisien dari pada saya yang ngurus diri sendiri aja repot! Hal kayak gini, dikedipin sama Mama saya juga selesai satu hari, itu pun masih sempet ngurus adik saya. Jangan-jangan, menjadi orang tua itu memperkaya skill seseorang untuk melakukan manajemen waktu (dan lainnya). And that’s cool ! Kenapa? Kenapa itu menjadi masalah? Apa itu kurang keren? Kurang ajib? Apa sih poin yang perlu dicari-cari boroknya? Apa?

    Seseorang mau nikah kek, gak nikah kek, masih muda, udah tua, itu tuh gak ada sangkut pautnya dengan kebahagiaan, kesehatan, kecantikan, keteraturan hidup, keindahan duniawi, apapun lah itu. Kita pasti punya masalah, dan masalah ini pasti ada APAPUN pilihan kita. Masalah itu seperti energi, dan energi itu kekal ! Dia tidak menghilang, dia hanya bertransformasi. Kita tidak bisa menskip masalah duhai manusia. Enak aje lo mau lolos gitu aja.

    Dalam hukum pertama termodinamika, ada yang namanya prinsip kekekalan energi. Energi itu kekal, tidak berkurang, tidak bertambah, namun bertransformasi dalam berbagai bentuk.

    Energy can neither be created nor destroyed, only altered in form.”

    Masalah, itu tuh sebentuk energi… count it as energi potensial. Dia selalu ada, udah ditentukan porsinya sama Tuhan sesuai kemampuan kita, cuman transformasi si masalah ini nih, begitu pula outputnya, yang beda-beda bergantung pada moda yang kita pilih. Mungkin kalau digambarkan itu kayak….ketika air dengan massa yang sama ditempatin di dua bejana. Yang satu dipanaskan lalu menguap, yang satu lagi didinginkan lalu beku, output yang keliatan mata telanjang kan beda toh? ketika menguap oh airnya jadi seperti “hilang”, seperti tidak terjadi apa-apa. Air yang dibekukan, keliatan nih masih ada es-nya. Namun, total jumlah air yang mengalami proses fisis itu SAMAAAAAAA! Cuman proses transformasi wujudnya aja yang beda.
    ASTAGA PLIS INI TEORI DASAR FISIKA DI SMP, PADA KEMANA MANUSIA DI MUKA BUMI INI YA TUHAN!

    Jadi seorang child-free, atau tidak. Kita semua PASTI masih menggendong masalah kita masing-masing. Being child-free bukanlah sebuah metode untuk menghilangkan beban hidup. Hanya alternatif cara untuk handle permasalahan hidup dengan pendekatan yang berbeda, lebih hype, lebih unik dari kebanyakan orang pada umumnya. Dan ya udah gitu aja, tidak ada yang spesial, dan sesungguhnya tidak ada yang perlu diperdebatkan sekaligus dibanggakan. Gak usah melenceng ke patriarki lah, kecantikan lah, aduuuuh jauh itu… jauuuuh…. udah kemana-mana. WUSH WUSH kusut!

    Punya anak, ya mungkin pusing itung-itung kebutuhan finansial, kaget juga rupanya anak kecil suka “ajaib”, harus belajar manage waktu dari awal lagi. Ih greget!
    Tidak punya anak? Ya mungkin jadi debat sama suami klo suaminya mau punya anak, diomongin tetangga, mertua, netijen, terus jadi gampang emosian juga. Ih greget juga!
    Ini cuman perkara preferensi bagaimana metode menikmati sakit kepala dan kerempongan hidup aja. That’s it!

    Kesimpulannya, semua orang pasti ada kombinasi masalahnya masing-masing lah. Jadi ya sudah, mari mencicipi piring masalah yang sudah tersedia di piring masing-masing. Jadi mari para bapak dan ibu sekalian, SABAAAAAR!

    Asam urat saya lumayan naik juga ketika seorang kawan saya membagikan video ngobrol sang influencer dengan suaminya. Gokil, Mas Suaminya sabar banget sih. Jujur saja, kalau mau julid, sepertinya saya juga gak akan ribet dan busuk-busuk amat sih kalau nikah (dengan pembandingnya mbak influencer ini ya), terus dapat pria penyabar yang akan saya jaga baik-baik dan klo perlu saya bungkus bubble wrap biar gak kegores, dan (it is a top secret) I love kids! I want to have kids! Bahkan lebih antusias ingin punya anak daripada punya suami. I don’t like most hooman, saya pusing dengan keramaian, tapi saya sweet looh kalau ke anak kecil. Kalau gak jadi peneliti, saya sudah hampir pasti jadi guru menggambar di SD atau TK. Atau illustrator buku cerita anak-anak. What’s wrong with kids? Apaaaa? Kalau kata adik saya, mereka itu culun culun lucu gemes gitu.

    Namun memang…. saya memang tidak PD untuk menjadi orang tua. Jujur saja, saya sih gak cukup percaya diri jika kelak saya bisa sesukses Mama misalnya, punya anak yang bakalan sayang banget ke saya. Saya tidak cukup percaya diri jika saya bisa punya anak cowok yang bisa bilang ‘you are so beautiful’ padahal badan saya sudah hancur kena stroke hatrick 3x. That’s sweet! Sweetness overload!
    Saya juga belum tentu bisa sejago Uwak saya yang sukses di karir tapi juga bisa membesarkan tiga orang anak gadisnya yang cantik-cantik dan keren. Kayaknya manajemen waktu dan emosi saya busuk sih.

    Apakah kalian juga cukup percaya diri bahwa kalian dapat menjadi better version parent untuk anak-anak kalian? kalau kalian bakal lebih baik daripada orang tua kalian saat ini? Saya berani taruhan, membayangkan saja jiwa sudah gentar.
    Saya yakin, jika tidak hati-hati, orang tua masa kini akan melihat anaknya main lato-lato atau tiktok ketika sedang diajari shalat. Mampos… pecah gak tu kepala kalean, huh?
    Emosi Anda pasti akan goncang, otak Anda akan nge-bug… mau lempar sandal, eh… inget swallow juga lumayan mahal, inget anak sendiri.

    Saya bahkan punya pengalaman traumatis tersendiri ketika ayah saya harus meninggal dunia saat saya masih di bangku sekolah menengah. Lalu, saya merasa… saya bisa melakukan banyak hal sendiri kok.
    Dengan segala scenario “what if” serta ego saya yang masih tinggi, jika ingin pakai kepala saja, tidak ada alasan kuat bagi saya untuk having kids or even having family in the future.

    Namun, melihat kehangatan sebuah keluarga, bagaimana seorang anak bisa mengasihi orang tua. Bagaimana orang tua dapat mewariskan nilai-nilai dan cerita unik pada anak mereka, bagi saya adalah sebuah kehangatan tersendiri di muka bumi ini.  Itu membuat saya luluh.
    Jika Tuhan mengizinkan, waaah saya senang sekali untuk mencoba tantangan baru, menjadi istri bahkan menjadi ibu. Walau jika itu terjadi, wah bakalan bumi gonjang-ganjing langit kelap kelip sih.

    Dan besar sekali doa-doa saya bahwa teman-teman saya yang baik dan menyenangkan bisa membangun keluarga yang baik dan kuat, lalu membentuk generasi-generasi yang lebih multicultural, lebih diverse, lebih toleran, punya IQ, EQ, dan SQ yang lebih terasah. Itu semua tidak akan terjadi jika manusia yang berkembang biak hanya orang-orang yang membawa bayinya naik jetski tanpa pelindung apapun.

    Keputusan child-free adalah hak prerogative setiap insan. Siapalah seekor emon dan kita semua yang manusia biasa serta rakyat jelata ini ? Kita sungguh tidak berhak untuk ikut campur pada hal-hal yang sudah di “imani” oleh orang lain. Namun menjustifikasi bahwa “Hei look, keputusan gw cool banget, lo semua tolol aja gak ikut gw yang hype abis ini,” sungguh di luar batas logika dan akhlak.

    Mungkin kalian juga akan tidak sependapat dengan saya. Mari kita menjawab dengan jujur, apakah menikah dan memiliki anak itu adalah sebuah pencapaian? Apakah semua itu memberikan kebahagiaan instant?
    Secara matematis dan logis, saya berani bilang TIDAK. Ya…Kalau mau bebas, hemat, dan bahagia, being single is a formidable decision. Secara matematika akuntasi loh ya.
    Namun, sebagai individu, mental dan kebijaksanaan kita juga harus terus berkembang, bertransformasi, diupdate. Proses transformasi itu yang bagi banyak individu perlu diraih melalui proses menikah… dan jika diberi kesempatan, ketika menjadi orang tua. Saya yakin pengalaman menjadi orang tua itu adalah pengalaman eksklusif dan gak bisa dibandingkan dengan apapun. Apa coba? Pengalaman hidup apa di muka bumi ini yang bisa menggantikan pengalaman menikah dan menjadi orang tua? Sebuah pengalaman spesifik untuk menerima orang “baru” dalam hidup kita untuk kemudian saling berkompromi serta mengeluarkan aneka jurus-jurus komunikasi yang baru nan kompleks ? Gak ada bre! Gak ada! Maka tidak ada yang berhak mengolok-olok keputusan seseorang yang dengan segala pertimbangan dan kebijaksanaannya, mencoba menjadi manusia yang lebih dewasa dengan cara membangun keluarga dan memiliki keturunan.

    Intermezzo lagi.
    Suatu ketika saya bercerita pada Mama, “Ma, kalo kakak nikah, kayaknya saya emosian sih. Semua panci penyok… terus klo kesel, suami saya nanti saya kasih ngemil Mee-O aja, share sama Buntet. Oh iya, anak-anak saya, akan saya didik agar mereka punya hobi mencuci piring dan ngepel, biar gak bikin hidup saya encok.”

    Dan Mama saya hanya tertawa “Ya gak lah kaaaaak, sekeras-kerasnya kamu, nanti kalau sudah punya keluarga sendiri, pasti kamu gak tega sih kejem-kejem gitu. Kamu dari anak tunggal terus jadi kakak aja berubah, apalagi kalau dari single jadi double, triple, quartet. Jangan ngaco lah, kayak tega aja. Liat kucing picek aja nangis. Haaaaaah… gak percaya, maaph

    Tidak Ma! Berkeluarga itu ribet! Belum lagi kalo ada yang sakit lah, meninggal lah, update toxic family di medsos lah. Gak deh, Ma! konfliknya terlalu banyak

    Iya ! Emang ! Ribet, bikin stress juga. Ini loh Mama sampai stroke hahahhahaa. Step awal tuh menerima segala keburukan pasangan kita. Pas belum nikah sih, kalo berantem ya bisa break dulu. Nah klo nikah nih, kalo berantem kita head to head tiap hari! Nanti apalagi pas ada anak, waaaah… semakin emosi, sodara-sodara !!! Api berkobaaaar ! Tapi nanti kita mulai bisa belajar segala kompleksitas emosional manusia, dari partner kita… anak kita…kita juga belajar untuk mengatur waktu dan emosi agar lebih efisien. Itu tahap kita bisa beneran nurunin ego. Kayaknya kalau Mama dulu gak nikah sama ayah, mama juga masih emosian banget sih. Udah bakat darting dari dulu.  Ini bukan masalah menjadi lebih bahagia atau gak, ini masalah langkah yang kita pilih buat jadi lebih bijak aja sih. Menurut Mama loh ya. Kayaknya itu deh mengapa menikah jadi bagian ibadah. Mungkin bahagianya karena berkah dari kebijaksanaan yang didapet.

    Seperti apa yang Mama bilang, lagi-lagi ini sebenarnya…..

    perkara langkah yang kita pilih untuk bertransformasi menjadi lebih bijaksana.

    Beberapa harus melalui metode konvensional : menikah dan punya anak.
    beberapa percaya diri dengan metode yang lebih baru, hype : child free… dsb

    Toh perdebatan akan selalu ada. Kayak “Aduh anak yatim banyak, aku mau adopsi aja.” Ya silakan-silakan aja, subhanallah loh itu. Tidak ada yang salah, selama semua bisa saling menghargai point-of-view masing-masing. Kan sudah dewasa toh?

    Maka, mengapa kita biarkan saja semua dengan pilihannya masing-masing. Siapa tahu, itu semua memang pilihan terbaik yang bisa mereka pilih, cerna, dan terapkan saat ini. Dan ingat juga bahwa level prioritas hidup setiap orang berbeda-beda, beberapa orang memang belum selesai dengan target-target lainnya.


    Saya contohnya… setidaknya saat ini ya… saya masih butuh validasi terhadap pekerjaan saya, I haven’t write any article in Nature as first author. Tembus nature, okelah… mari mencari jodoh, setidaknya udah ada pajangan di ruang tamu. Jiwa riya ini sungguh meraung-raung~~~(iya memang, saya riya’ mau apa kalian?)
    Saya juga tidak cukup percaya jika sang influencer kemudian memiliki anak, mungkin dia juga belum siap serta belum memiliki kompetensi yang mumpuni untuk membesarkan anak yang baik secara akhlak, mental, dan fisik. Saya saja sudah ragu kalau Beliau ini bisa take care ikan mas koki, sulit loh bertanggung jawab sama ikan mas koki. Atau dimulai dari memelihara suplir! Nah cakep tuh, merawat suplir dengan penuh tanggung jawab sehingga si suplir tidak mengering. Rasakan sensasinya !


    Mengapa kita jadi harus buang energi untuk begitu emosi? Jangan-jangan, memang itu pilihan terbaik untuk diri Beliau, dan tentu saja… belum tentu itu akan menjadi pilihan yang baik untuk saya, kamu, kita.

    Kita sering kali terlalu sibuk membanding-bandingkan pilihan diri dengan pilihan-pilihan orang lain. Padahal, pilihan mereka belum tentu benar, atau setidaknya belum tentu cocok diterapkan pada timeline kehidupan kita.

    Jadi ya sudah lah yaaaa… mari kita saling bertegur sapa  dengan ramah dari jalan yang masing-masing sudah kita pilih. Ini aja mikirin jalan sendiri masih bisa nyasar, apalagi mikirin jalan orang. Ya toh?

    PS: Untuk mbak influencer, yang pasti gak baca blog saya, lambemu itu loh mbaaaak! Mau child free, childish, sweet child o’ mine, itu wis sekarepmu, Mbak…. Tapi ya udah, tidak perlu caper. Dewasalah untuk menerima bahwa apa yang keren menurut Anda sendiri, belum tentu applicable bagi orang lain.  Masa’ pola pikir seperti itu gak sampe Jerman sih ? Saya yang dulu dari Leuwiliang aja nyampe loh ke pemahaman tersebut. Oh ya, dan mungkin ada empati dikit sih, pasti ada teman atau kerabat atau followers yang sedang berjuang untuk punya momongan, terus perkataan Anda yang memiliki anak itu sebuah keputusan yang salah dan merepotkan, itu beneran gak membantu siapapun secara psikologis sih. Mending mbaknya gak usah jadi influencer 😀 toh rupanya tidak open minded-open minded amat. Udah mbak sini… jadi tante-tante blogger biasa aja. kayak saya…

    Ini sekalian foto suplir saya yang mengering :’D sad man! sad!

    IMG_1161
  • Aku menghaturkan jutaan permintaan kepada-Mu.
    Mempertanyakan mengapa enggan Kau segera menjawab pertanyaanku.
    Tiba saat Kau memintaku untuk mengingat-Mu di tiga puluh hari,
    Ah… rupanya lidahku saja kelu menyebut nama lengkap-Mu,
    Rupanya aku lupa membaca ratusan lembar surat cinta-Mu padaku

    Di balik setiap doaku, tersimpan banyak ego yang semoga bisa termaafkan.

    – Ramadan dan Ibadah-Ibadah Setengah Hati (2022)

    Halo sobat santanku yang super, yang pastinya berhasil menurunkan 2 kg selama puasa dan bertambah 3-5 kg selama lebaran. Sungguh makanan bersantan itu gokil sih. Tapi tidak apa-apa lah, wong lebaran kan cuman 2 kali setahun: Lebaran Idul Fitri dan Lebaran Idul Adha. Paham juga sih, kerena setelah si covid yang bikin banyak jiwa sepi dan terjebak gak bisa ketemu keluarga, akhirnya bisa mudik… merasakan ketupat dan sidangan santan buatan Mama. Apalagi kalau kalian seperti saya, Mama saya punya tangan ajaib yang bisa membuat makanan jadi enaaaaaak banget. Kadang kalau pulang, cuman makan sop sama sambal goreng aja udah hangat banget, berasa hangat sampai ke hati. Ini terbukti secara sah dan meyakinkan karena adik saya yang selalu tinggal sama Mama sekarang badannya gede banget karena sudah beralih fungsi menjadi sous-chef dan tim icip masakan. Apalagi lebaran, masakan bersantan itu memang gurih dan kalau jago masaknya, bisa bikin kita semua ketagihan. Jadi well… mari kita pasrahkan saja berat badan kita gara-gara aneka santan yang aduhai itu. Tidak apa—- tidak apaaaaa apaaaaaa…. (sambil nangis di atas timbangan).

    Tapi ada hal yang membuat saya, yang sudah semakin tua ini, sedih dan miris. Puasa tahun ini berasa cepet banget, iya gak sih? Apa cuman saya aja….
    Tahun ini, kalau beberapa orang di medsos bisa bangga menunjukkan achievement ibadah mereka, maka buat saya sih… duuuuh tengsin men! Tengsin!

    Bagaimana tidak? Mari kita telisik satu per satu, yang jelek-jeleknya aja ya. Mulai dari baca Quran yang, tentu saja, tidak intense. Dan shalat tarawih pun, semua di rumah sendiri. Yaaa seperti hari biasa aja, sibuk dengan rutinitas duniawi.

    Nah jangan kalian pikir manusia-manusia duniawi seperti saya ini gak sadar kalau intensitas iman kami tuh ‘meh’ banget. Saya yakin kok, dalam hati kecil tuh ada rasa “Gak boleh, harus ada yang gw perbaiki nih.” Dan percayalah podcast dan acara-acara religi yang tipis-tipis bahas atau diskusi terkait agama itu membantu banget buat manusia modelan begini. Hingga kemudian saya sampai ke sebuah konten di youtube, yang sebenarnya untuk kemasanan komedi, tapi cukup menarik. Judulnya “Pindah Arah”, sebuah acara yang disiarkan oleh Comedy Sunday dan menceritakan perjalanan spiritual orang-orang yang mengubah kepercayaannya. Nah! Yang menarik, ada yang pindah dari agama minoritas ke mayoritas, dan ada juga yang sebaliknya. Dan acara ini, secara mengejutkan, sangat menarik dan memotivasi. Loh?

    Iya… karena rupanya hati itu begitu mudah aja dibolak-balik. Rupanya gak ada yang terlalu kecil atau terlalu besar ketika itu perkara keyakinan. Ada loh yang berpindah keyakinan, hanya karena pas parkir di depan gereja, eh loh kok gereja ini bikin tenang ya. Ada yang kemudian liat orang-orang tarawih, eh kok seneng ya ada masa ketika terus komunikasi sama Tuhan. Ada yang merasa shalat, rupanya adalah metode meditasi yang paling efektif, simple, dan menenangkan.

    Sungguh, saya sebagai Muslim veteran tidak henti-hentinya mempertanyakan “Ah masa sih?!”

    Lalu tibalah satu episode yang benar-benar inspiring! Mari kita lihat.

    Masnya punya permasalahan bahwa, “Kok pas shalat belum merasakan secara penuh kehadiran Allah ya?”
    Mas, jangan khawatir… SAYA JUGA BEGITU. Jangankan pendatan baru, ini Muslim veteran loh, masih merasakan hal yang sama. ASTAGFIRULLAH.

    Saya kemudian memutuskan mencoba apa yang Mas-nya coba: Shalat secara lebih perlahan.
    Sesuatu yang kalau di kamus kami para Muslim disebut tuma’ninah. Tapi tekad saya adalah, lebih dalam dalam proses shalat ini. Ya plis aja, gengsi dong kalah sama pendatangan baru, yakan. Iman boleh naik turun, tapi gengsi terus on.

    TEBAK APA YANG SAYA TEMUKAN?

    Saya bahkan sadar bahwa bacaan shalat saya selama ini banyak yang tidak becus. Coba deh kalian yang Muslim, nanti suatu waktu, shalat…. konsentrasi dan dengarkan baik-baik bacaan kalian sendiri. Untuk saya? Saya menyadari begitu banyak bagian yang tabrak lari, tidak peduli makhraj, dan saya kok khawatir jangan-jangan ada baris-baris yang terlewat selama ini? Belum lagi perkara surat-surat pendek yang pas di-review ulang “Loh kok loh kok, kok makin sedikit ya hafalannya” Itupun saya ragu dengan kebenaran bacaannya.

    Itulah malam dimana saya memutuskan, saya akan kembali ke Quran. Itulah malam ketika, saya bilang ke diri sendiri, “Oke, lo banyak salah, tapi setidaknya lo harus shalat yang bener.”
    Dan di malam itu juga, saya memutuskan untuk kembali mencoba sekuat tenaga untuk menghafal Quran, tekad saya sederhana, Juz 30 + Ar-Rahman. Saya sadar diri kok kemampuan otak dan persistensi saya tidak bisa disamakan dengan ayah saya yang dulunya anak pesantren. Tapi kayaknya keterlaluan banget kalau shalat gak cantik dan all out, karena itu aja ibadah yang bisa diperjuangkan untuk terus dilakukan dengan sebaik mungkin di tengah hiruk pikuk dunia dan kesibukan berburu harta benda. Karena saya suka sekali menulis, saya sampai bikin jurnal untuk mencatat progress hapalan saya. Tidak usah kagum saudara-saudara, jika kalian sudah kepala 3, kapasitas otak kalian mulai berkurang aja karena sibuk memikirkan aneka keruwetan di planet bumi. I am so damn serious, Man! I am so damn serious!

    IMG_9904

    Entah apa indikator keberhasilan dari hal ini ya, tapi setelah itu, hati lebih tenang… tanpa perlu keluar uang untuk sesi yoga dan meditasi. Oh ya, untuk saya pribadi, I stopped scrolling around my social medias. Lebih memilih untuk kerja, baca buku, gambar, atau masak. Jangan-jangan, ini jangan-jangan loh, kita ini terus terpaku pada media sosial karena kita punya banyak keresahan dan gak ada media untuk menuntaskan, atau setidaknya mengurangi, rasa resah itu. Jangan-jangan kita itu kurang produktif karena, kualitas ibadah kita, terlepas dari apapun kepercayaan kita, memang busuk aja. Kita gak ngerasa aja….

    Kali ini saya tulis ini semua di blog, supaya saya ingat atas kelalaian saya ini, dan supaya saya punya tanggung jawab untuk terus mempertahankan tekad untuk jadi sedikit lebih baik dalam beribadah.
    Saya itu masih punya banyak ambisi dan keinginan, tentunya akan ada banyak doa-doa yang akan saya utarakan. Nah ya kok masa’ yang meminta kemudian tidak berusaha untuk mengenal dan mendekati Sang Maha Pemberi, kan gak etis 🙂 iya toh?

    Terima kasih Mas-Mas pendatang baru dan Comedy Sunday, perjalanan spiritual setiap orang memang beda-beda, saya… rupanya harus lewat jalur youtube dulu.

    Selamat hari raya Idul Fitri, dan moga kita cerita lagi di Ramadan selanjutnya.

    Untuk versi podcast dapat didengarkan di sini 🙂

  • Maaf-maaf-maaf, terjadi banyak kekacauan dan kesibukan di dunia nyata yang membuat tante harus undur diri sejenak dari dunia maya 😀

    Baiklah, mari kita bahas hal-hal yang menarik dan agak-agak nampol di kepala. Jadi beberapa waktu yang lalu saya baru selesai membaca, eh denger deh, sebuah buku yang judulnya “For the Love of Men” tulisan seorang wartawan bernama Liz Plank. Cukup menarik sih, karena membantu kita untuk melihat dari berbagai perspektif.

    Nah jika kalian para wanita suka merasa “Duh kok ini cowok-cowok kok sulit banget dipahami.” Mungkin emang benar, dan itu semua karena lingkungan membuat stigma bahwa share the feeling, berbagi perasaan, curhat, adalah hal yang lebih feminim dibandingkan maskulin. Padahal, kebutuhan akan validasi perasaan dan pemikiran itu adalah kebutuhan manusia, tidak peduli gendernya apa.

    Nah, stigma-stigma yang seperti inilah yang kemudian disebut: Toxic Masculinty.

    Nah, sebelum kita tersesat lebih jauh, apa sih toxic masculinity? Dilansir dari healtline.com, …“toxic masculinity is an adherence to the limiting and potentially dangerous societal standards set for men and masculine-identifying people.” Intinya, standar-standar sosial yang mendefinisikan maskulinitas. Gak boleh nangis, gak boleh terlalu warm, gak boleh terlalu ramah, gak boleh curhat, gak boleh suka warna pink, gak usah masak ato belajar masak, dan sebagainya. Pokoknya, pria, diharuskan untuk selalu kuat secara mental dan fisik. Kalau kemudian capek dan nangis langsung dijudge “waaah lemah lo!” padahal kan sedih, dan aneka pergolakan emosi lainnya, bisa dirasakan oleh siapa aja.

    Hal itulah yang membuat WHO sampai turun tangan dan bilang bahwa angka harapan hidup pria lebih rendah dibandingkan wanita. Saya kemudian membaca blog tulisan Dr. Robert H. Shmerling, MD, Senior Faculty Editor, Harvard Health Publishing, dan Beliau udah bilang ke istrinya kalau dia kayaknya bakal mangkat lebih duluan dari istrinya:

    “I knew that, on average, women live longer than men. In fact, 57% of all those ages 65 and older are female. By age 85, 67% are women. The average lifespan is about 5 years longer for women than men in the U.S., and about 7 years longer worldwide.”

    Pertanyaannya kenapa? Karena pria lebih mudah terserang stress, lalu akhirnya ada yang sakit, ada yang cari pelarian dari hal-hal ekstrim, dan ada juga yang bunuh diri. Sound stupid, apalagi bagi saya, karena saya sih tau banget hidup ini sulit dan gila ya. Tapi when life gives you lemon…. yaaaa udah nangis dulu sehari-dua hari, curhat ke random friends, atau main sama kucing, lalu kemudian maju jalan lagi! Apakah curhat dan nangis-nangis sampe ingusan itu menyelesaikan masalah? tidak! Tapi itu rupanya membuat mental kita lebih siap aja menghadapi realita. Dan ketika kita lebih siap, kita menjadi lebih kuat. That’s how strong women could be.

    Nah ini yang seringkali tidak dinikmati oleh para pria yang boro-boro curhat, untuk nangis aja kadang gengsi. Nah seketikanya harus curhat, sukur-sukur ada yang mendengarkan dengan baik dan sungguh-sungguh. Kebanyakan malah “Ah elo…. gitu doang aja. Cupu ah.”

    Hal itu rupanya semakin merembet ke hal-hal yang lebih besar. Dalam buku “For the Love of Men”, si penulis bilang bahwa selama proses dia menulis buku, dia mewawancara beberap orang pria dan para pria ini banyak sekali yang menyembunyikan fakta ketika mereka merasa dilecehkan secara seksual. Mengapa? Karena ketika mereka kemudian curhat tentang ketidaknyamanan yang mereka rasakan, termasuk pelecehan seksual yang mereka alami, mayoritas respon yang mereka dapatkan adalah “Ah gitu aja, kamu kan cowok, lawan lah.”, “Masa’ gak bisa lawan?”

    Padahal sih harusnya speak up, biar yang melakukan tuh sadar yang mereka lakukan itu busuk. Jadi inget kasus “rahim anget”, yang mohon maaf, menurut saya kok jijik ya. Kita sebagai wanita kan lebih bangga ketika dilihat secara pemikiran, secara kecerdasan emosional dan intelektual. Saya sih males banget kalau saya achieve sesuatu, terus penghargaan yang saya dapatkan menjurus ke hal-hal seksual. Naaaah…. dulu pernah nih ada pebulu tangkis yang kece sih emang, dan staminanya emang kuda. Namun alih-alih penghargaan pada kekuatan fisik dan kecerdasan strateginya, yang banyak muncul malah kaum-kaum “rahim anget.” Dan pada gak terima kalau kemudian ditegur.

    Oh ya, kasus pelecehan seksual yang terjadi di sebuah instansi baru-baru ini juga, sama….
    Ketika melapor malah kembali dipertanyakan “Loh kenapa gak bilang dari dulu-dulu?” dan malah kemudian diancam untuk dirumahkan.

    Hal ini kemudian semakin rumit, karena, kalau kata buku ini, pria cenderung punya ekspektasi dan pengharapan yang tinggi pada dirinya. Nah, ketika kemudian dia gagal, maka orang yang pertama kali menyalahkan mereka adalah…. siapa lagi kalau bukan… diri mereka sendiri. Jika kemudian orang lain ikutan menyudutkan dan menyalahkan si Mas-Mas malang ini, maka itu akan jadi semacam validasi “Tuh kan gw salah.”

    Hmmmm…. pendek kata, selain keras kepala… kayaknya para pria ini juga keras hati :’)

    Hal ini yang mungkin menjelaskan kenapa sosok “ayah” di dalam keluarga selalu menjadi salah satu yang bikin kita suka naik darah. Berulang kali saya selalu dapat curhatan
    “Bapak gue udah sakit-sakitan, Mon… udah gue suruh berhenti kerja aja. Diem deh diem di rumah. Apa susahnya sih?”
    “Ya ampun Mon, ya masuk rumah sakit lah, wong maksain diri. Pake acara gak bilang-bilang kalo ada penyakit pula.”

    Dan berulang kali juga saya bilang “Udah…. sabar, biarin aja Beliau mau nyobain apa. Tapi lebih dijagain aja.”
    Dan berulang kali juga itu menjadi boomerang, dan mereka pasti akan bilang “Mon, gak gitu… lo gak ngerti…..”

    Mungkin iya, tapi jangan lupa juga kalau pride seorang ayah adalah menjaga keluarganya sebaik mungkin.
    Dan percayalah, saya juga pernah mengalami hal serupa ketika dulu ayah saya sakit.

    Saya sedih, laki-laki yang paling saya sayangi di muka bumi ini terkesan memaksakan diri. Padahal saat itu, di kepala saya “udah…udah…. hidup aja, selama mungkin.” Saya kesal juga karena saya merasa ayah saya tidak memahami rasa khawatir dan sedih saya. Yang saya belum pahami saat itu, mungkin orang yang paling sedih adalah Beliau, karena merasa tidak berdaya dan malah membuat orang-orang disekitarnya sedih dan khawatir.

    Semua orang bersedih, dan tidak ada gunanya untuk saling keras kepala memperdebatkan siapa yang paling terluka.

    Nah, jadi, untuk kalian yang masih punya ayah, biarkan mereka melakukan apa yang mereka mau. Support them. Ingatkan untuk hati-hati dan jaga diri. Puji mereka ketika mereka bikin sesuatu, seremeh temeh apapun itu.

    Dan buat kalian yang mau jadi atau udah jadi ayah, jangan biarkan keras hati dan kepala kalian menyakiti orang-orang yang sayang kalian. Di muka bumi yang kejam ini, ada manusia yang kemudian memilih kalian jadi kepala keluarga. Maka mereka, sudah pasti, orang-orang yang siap mendengar dan berjuang bersama ketika ada suatu permasalahan. Jangan dipendam sendiri.

    Kembali lagi ke topik kita. Saya sungguh mendukung kesetaraan gender, namun kesetaraan gender itu apa? Feminisme itu apa? Mengagung-agungkan wanita namun kemudian mengesampingkan keadilan dan perasaan para pria? Kan lucu dan blunder jika mencap diri sebagai feminis, namun malah lupa tentang hak asasi manusia. Dulu pernah, di sebuah grup yang saya ikuti, ada perdebatan panjang maha tidak berguna tentang sebuah lowongan pekerjaan yang hanya meminta satu orang pria untuk posisi tersebut. Pengirim lowongan sudah menjelaskan, bahwa di divisinya, hampir semua anggotanya wanita, sedangkan ada beberapa pekerjaan yang mungkin lebih efisien jika dibantu pria. Yang namanya emak-emak kan sore mungkin harus pulang cepet untuk masak, jemput anak, dsb. Sesuatu yang saya rasa bisa dipahami.
    Dan kemudian perkara itu diperdebatkan sampai mati antara feminis vs non-feminis.
    Pertarungan silat lidah dan argumentasi itu hanya berputar-putar di perkara “Kok gak boleh perempuan.” yang bagi kami yang malas “Lah, kan sudah dijelaskan.”
    Dibalas dengan jawaban jitu “Memangnya wanita tidak layik bekerja.”
    Kalau mau adu bodoh-bodohan, maka bisa saja kita balik pertanyaan tersebut “Memangnya pria tidak layik bekerja?”

    Bukankah beban sosiologis dan antropologis pria, setidaknya pada masyarakat kita, lebih berat karena dituntut untuk membiayai keluarga, punya pekerjaan tetap, dsb dsb dsb dsb dsb. Dan jika mau sedikit berbaik sangka, bagaimana jika pria yang diterima untuk posisi tersebut adalah anak baik, yang uang gajinya diberikan untuk ibunya di rumah…. atau untuk keluarga kecil barunya?

    Mengapa, sungguh sulit, bagi manusia untuk berbaik hati dan berbaik sangka?

    Tidak ada yang tahu akhir pertarungan tersebut, karena pada akhirnya mayoritas keluar grup atau ganti e-mail. Jadi mohon maaf, memang ceritanya berakhir di situ saja.

    Akhirul kalam, Mama saya selalu bilang “Orang itu bisa jahat mungkin karena pernah diperlakukan tidak adil atau tidak menyenangkan. Hati mereka luka, terus mereka jadi tidak percaya pada orang lain dan tidak peduli ketika menyakiti orang lain. Jadi, ketika kita ketemu orang yang baru, senyum aja…. berbuat baik aja…. karena siapa tau itu bisa melembutkan hati mereka.”

    Maka bukankah pria, sama halnya seperti wanita, adalah manusia? Maka bukankah kita perlu memperlakukan pria sebagaimana kita wanita ingin diperlakukan. Dilihat serta diperlakukan dengan penuh rasa hormat.

    Saya Tante Emon, ketemu lagi di cerita lainnya.
    terima kasih.

  • Halo saya tante emon, dan saya ingin mengajak kalian semua untuk berghibah tentang para covidiots di Indonesia

    Sebelum membedah perkara covidiots ini, saya mau cerita sedikit dulu deh. Jadi buat yang kalian belum tahu, saya saat ini menjadi peneliti di sebuah research center di Jepang. Nah presiden di reseach center ini adalah mantan epidemiologist. Jadi Beliau tau banget lah dunia persilatan ini. Ketika Tokyo dan sekitarnya punya 500 kasus dan langsung status darurat, Beliau langsung kirim pesan di milist dan isinya kira-kira

    “….Kita tahu bahwa dengan teknologi saat ini, kita bisa dengan cepat membuat obat atau vaksin apapun. Sayangnya yang paling sulit bukanlah mengalahkan virus apapun, namun mengalahkan ego manusia. Saya paham betapa berat situasi ini. Namun ingat pula bahwa kebijaksanaan manusia diukur dari seberapa kita bisa kita menahan keegoisan kita, seberapa bisa kita berpikir jernih Ketika terdapat suata masalah.
    Tidak ada diantara kita ingin sakit, terpisah atau bahkan kehilangan keluarga atau teman, maka mari kita percaya dan mematuhi segala anjuran yang diberikan oleh para petugas Kesehatan dan pemerintah. Mari kita bekerjasama. Semoga setelah ini,  kita menjadi manusia yang sehat secara jasmani dan rohani.

    Gilaaaa! Rasanya kayak dibasuh pakai air Zamzam gak lo!
    Mungkin kata-katanya lebih dalam dari itu ya, soalnya saya kan level Bahasa Jepangnya kore-kore, dan ini semua hasil olah kata google translate. Tapi itu menggambarkan segalanya sih. Seluruh chaos ini, bukan serta merta karena virusnya sendiri, tapi karena keegoisan manusia.

    Oh ada yang kurang, ke-sotoy-an manusia.

    Saya rasa masyarakat Jepang layak lah “naik level” secara kualitas. Kalian harus tau ya, tingkat vaksinasi di Jepang itu busuk banget, bahkan kalau dibandingkan sama Indonesia. Tapi tingkat penularan mereka terjaga banget. Kenapa? Karena taat prokes! Karena semua orang bersih, pakai masker, cuci tangan, makan makanan sehat dan bergizi.

    Sementara negara berflower, mohon maaf, beberapa boro-boro naik harkatnya sebagai manusia, naik kelas ke SMA aja saya ragu loh AHAHHAHAHAHAHA… ini loh, ini lah mengapa kalian wahai manusia Indonesia yang hebat, Ketika kalian di bangku sekolah menengah, jangan cuman kejar nilai tapi serap semua ilmu yang ada.

    Saya mohon izin ya untuk teman-teman yang nakes, kalian kan baik, jadi kalian gak usah bikin konten-konten nge-gas. Biar saya yang wakilkan.


    Gini ya, kalau kalian buka buku teks biologi kelas X, kalo Angkatan lama SMA kelas 1.  Tidak ada obat untuk  bunuh virus. Seinget tante, antiviral drugs itu tidak membunuh virus, tapi mengurangi daya replikasi si virus. Itu pun kalau virusnya udah ketahuan.

    Makanya, kalau lawannya virus, cara paling ideal yang tubuh kita bisa lakukan adalah memperkuat antibody tubuh kita. Jadi defense kita nih yang harus sip. Nah, supaya antibody kita bisa menang melawan si virus, maka antibody kita harus sudah punya kisi-kisi lawan mereka siapa? Jadi mereka tahu, alat tempurnya apa saja.
    Masalahnyaaaa~~~ covid ini virus baru, jadi antibody umat manusia di muka bumi ini masih kaget “Waduh ini apaan nih?”.Antibodi ini jadi bingung cara lawannya gimana.
     Sebagai ikhtiar agar antibody kita bisa mengenal virus baru ini, maka diberikanlah vaksin. Vaksin ini virus yang sudah dilemahkan. Harapannya, tubuh kita jadi lebih siap untuk menghadapi si virus ini. Jadi kebal? Ya gak! Gak gitu cara berpikirnya.

    Kalau kalian lemah di kalkulus, terus kalian dikasih bimbel khusus kalkulus, apakah Ketika tes kalkulus selanjutkan kalian langsung dapet nilai 100? Ya gak~~~~tapi setidaknya gak dapet nol-nol banget.

    Sama, sama, vaksin pun begitu. Apalagi, vaksin covid ini dibuat awal banget ya karena status darurat. Idealnya tidak begitu, karena virus itu akan terus bermutasi. Proses pembuatan vaksin biasanya cukup lama karena menunggu mutasi si virusnya stabil. Jadi bagian farmasi jelas nih, dia berubahnya sampe delta kah? Sampe gamma kah? Atau gimana? Nah, vaksin yang ada sekarang belum sepenuhnya diujikan untuk varian-varian yang mutasi. Jadi pun kalian sudah vaksin, tapi kemudian pongah tidak taat prokes lagi, lalu apes kena virus varian baru, terus kalian lagi gak fit. Ya kena juga.

    Alhamdulillah kalau setelah itu kalian cuman mengetuk pintu rumah sakit, kalau kalian mengetuk pintu akhirat?Hayo? gimana?  Apakah amal perbuatan kalian cukup untuk menyelamatkan diri  dari azab menjadi BBQ di neraka Jahannam? Belum tentu.

    Jadi kalian masih harus tuh pake masker dan cuci tangan pake sabun atau at least pake hand sanitizer. Apa sih susahnya pake masker? Kalian mati gitu setelah pake masker? Apa sih? Sesak? Kalau kalian jalan 3 langkah pakai masker lalu sesak nafas, itu bukan salah maskernya, itu mungkin kalian ada masalah jantung atau paru-paru. Mohon maaf, kalian harus ke spesialis penyakit dalam.

    Yang lebih “blokgoblokgoblok” adalah yang bilang vaksin dipasang chip.

    Itu bagaimanaaaaaaa ya Allah~~~~~~ ini benda cair ya, mau ditempelin chip gimana? Yang kayak gitu tuh tau bedanya zat cair, padat, dan gas gak sih?

    Apalagi? Ah virus doang, masa’ gak percaya sama Allah. Permisi, ini kalau di kisah di agama saya, khalifah Umar bin Khattab, khalifah paling sangar sepanjang sejarah Islam, pas ada wabah Tha’un sekitar tahun 18 Hijriah, doi juga cabut bro! Ini khalifar Umar yang sehat, kuat, dan tidak terpapar fast food dan micin.
    Maka Andaaaaaaa~~~ ya ahli kubuuuuuuur~ yang sudah dihajar tahu bulat, cimol, cireng, boba, dan aneka fastfood, dan bahkan untuk beli makanan aja pake order ojek. masa’ Anda PD banget sih. Gaya hidup kita itu sesungguhnya telah membuat kita lebih lemah dan lembek dari. Jadi ya sadar diri aja. Jangan gila deh.  Udah Lemot Lemah otot kan harus dijaga jangan sampai Lemot Lemah otak juga ya AHAHAHHAHAHAHAHAHAHA.

    Atau kalian bersikukuh, virus ini gak ada, ya udah telan dan nikmati itu semua sendiri. Gak usah ngajak orang.

    ———

    Duh kalau inget jadi emosi banget. Emosi gak sih kalian?
    Saya sih emosi tingkat dewa dewi ya. Karena rasanya kita udah begitu patuh, patuh hingga banyak hal yang dikorbankan. Eh terus, stuck aja gitu karena banyak orang blokgolblokgoblok dan membuat situasi kayak reset seperti awal lagi. Gak ada proses belajar sama sekali. Gak ada! Sedih gak?

    Oh kalian pikir saya tidak merasa kesal karena saya di Jepang. Wah kalian salah banget, saya korban psikologis dari covid di Indonesia. Satu, saya gak bisa pulang-pulang nih karena kalau saya pulang, Jepang enggan mempersilakan saya masuk lagi karena Indonesia dianggap berbahaya. Bukan hanya saya ya, banyak loh pelajar, peneliti, dan pekerja magang yang stuck di tanah air
     Dua, Mama saya yang diabetes sempat harus terhenti untuk check up karena RS penuh sama pasien covid dan covidiots yang gak ngaku klo mereka covid. Jadi ke RS bilang meriang biasa, eh padahal covid. Ya nular kemana-mana.
    Tiga, ini personal sih, saya mau memperkenalkan seseorang ke Mama dan adik saya. Dan itu semua ambyaaaaaaar karena covid. OMG OMG I am getting old, I cannot make any kind of plan delayed anymore.

    Jadi kalau saya mau kasar, hey covidiots, Anda BIADAAAAB!

    Tapi sudahlah ya

    Semua cerita dan complain ini saya ceritakan kepada seorang teman saya, dan dia malah ketawa “You know what, Marissa. You cannot fight ignorance. We can’t. Don’t waste your energy.”

    Dan iya juga sih. Mungkin saya sudah harus mulai memaafkan para biadab-biadab ini.
    Susah sih.
    Tapi

    Mengapa kita harus menuntut orang-orang yang sudah terlanjut covidiots ini untuk berubah?
    Saya kemudian sampai pada suatu pemikiran bahwa, jangan-jangan para covidiot ini sudah mengimani loh. Mereka sudah bersyahadat, sudah membaptiskan diri, dengan seluruh kerangka pemikiran covidiotism dan secara sadar sudah membentuk sekte covidiotism. Kita kan gak bisa memaksa untuk mengubah “iman” seseorang. Mau gimana coba? Mereka pasti tidak rela untuk serta merta, dalam tanda kutip, murtad dari keimanan mereka sekarang. Di mata mereka,  kita nih yang mengimani keberadaan covid ini yang menjadikan prokes adalah bagian dari rukun iman kita, adalah orang-orang kafir.

    Mereka kemudian mau mengajak kita semua untuk untuk menganut covidiotism. Mayoritas tidak mampu untuk bertarung secara logika dan pemikiran ilmiah, maka mereka menggencarkan terror! Ya! Mereka adalah teroris modern, yang secara sadar melakukan bom bunuh diri dengan cara menyebarkan virus, hoax, dan teori konspirasi terkait covid ini kepada kita semua. Mereka sebuah organisasi baru! ICIS: Ingin Covid Infeksi Semua.

    Apa lagi yang bisa kita harapkan dari orang-orang seperti itu, apa? Kalian tunjukin video apa yang terjadi di India, di RS-RS yang penuh, apakah mempan? Tidaaaaak? karena penderitaan karena covid itu sepertinya mmmmm…. Tidak masuk ya ke aqidah mereka. Covidiotism adalah bentuk radikalisme baru, sehingga apa lagi yang bisa kita harapkan dari orang-orang yang radikal ini. Sekarang, perkara kita, apakah iman kita cukup kuat untuk menjaga diri dari sekte covidiotism ini?
    Semoga kita kuat ya, semoga yang masih punya keluarga yang terjebak di sekte covidiotism, bisa diberi kesabaran dan kekuatan untuk membawa mereka hijrah. Kalau tidak, setidaknya semoga kita yang kuat dan bertahan. Dan inget, Ketika kondisi darurat, pasangkan masker oksigen ke diri sendiri dulu sebelum ke orang lain. Sehat-sehat ya semuanya.  Saling mendoakan.

  • Saya punya tekad untuk menjadi emon yang produktif. Bukannya apa-apa, tapi karena sebagai manusia… sungguh sebuah hal lumrah kalau saya galau, sedih, stress, dan hal-hal manusiawi lainnya. Bagi saya, tidak ada hal yang paling baik untuk melupakan hal-hal yang pedih, selain dengan cara move on, being busy….

    Kalian tidak tahu kan betapa penatnya jadi peneliti. Deg-deg-an nunggu keputusan reviewer jurnal, pusing analisis data, terus baca hal yang serupa berjuta-juta kali, belum lagi kehidupan sosial yang agak-agak terombang-ambing. Banyak banget suka dan dukanya. Yang semoga aja, terbayar tunai sama Yang Mahakuasa. Kalo gak, kayaknya bakalan saya tagih terus deh. I am doing everything more than what people can imagine.

    Nah, di penghujung bulan Mei ini, saya yang nyambi jadi pengajar online sebuah univ harus mulai menyelesaikan tugas memeriksa PR mahasiswa. Saya tidak bisa membayangkan betapa luas jiwa dan hati para guru dan dosen di saat pandemi seperti ini. Pintar akademis saja gak cukup loh gengs! Harus pandai dengan komputer, aneka software, dan yang harus lebih lihai lagi “MEMBACA MAHASISWA” yang bagi saya sih “Wah…. drama sekaleeeee…”

    Ada yang tidak mengumpulkan tugas yang deadlinennya sudah sebulan yang lalu terus tiba-tiba kontak “Bu, waktu itu internet saya mati.” Laaaah kan bisa di hari selanjutnya :’)
    Ada lagi yang salah upload tugas, dan setelah dikontak berjuta-juta kali, gak ada balesan.
    Belum lagi banyak jawaban yang kopas plak-plek-plak-plek-plak. Yang kayaknya pas dikopas, otaknya lagi pada diistirahatkan di kulkas. Wallahu’alam.
    Sungguh begitu banyak hal ajaib, yang kalau saya tatap muka sama mereka sih, mungkin saya udah banting microphone.

    Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya….
    Ada sebuah tugas yang sebenarnya begitu sederhana sih. Mahasiswa diminta untuk menuliskan dampak negatif dan positif dari globalisasi.

    Yang dampak positif sih yaaaa standar lah ya….
    Nah yang dampak negatif ini MENARIK!

    Lebih dari 50% jawaban mahasiswa, pasti menuliskan “Globalisasi akan membuat tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.” bahkan ada yang langsung to the point “… akan membuat tenaga kerja dari Cina semakin banyak.” Loh, kenapa emangnya sama tenaga kerja dari Cina. Moon maaph, kalo etnis Cina, toh yang WNI juga sudah banyaaaaaaaaak, dan mereka orang-orang yang baik. Mana masakannya enak-enak pula, ya Allah~~terima kasih, karena ada akulturasi Tionghoa, masakan Indonesia jadi makin beragam dan enak-enak ya Allah~~~~~~ m(T^T)m

    Belum lagi jawaban, “Tenaga kerja Indonesia akan semakin sulit bersaing baik secara nasional maupun global.”

    Ada lagi “Membawa kultur yang buruk”, versi religius “Bisa berdampak buruk pada kultur dan iman masyarakat Indonesia, karena tidak sama dengan budaya dan agama mayoritas.”

    Saya tentu misuh-misuh, namun apa gunanya misuh-misuh di dunia onlen-onlen yang rasa-rasanya kurang greget, kurang dramatis, dan mungkin kurang mantap kalau kepala belum pada dikeramas dan diberi pijatan-pijatan microphone.

    Terlepas itu karena kasus “kopas” yang…yang…. yang tadi itu, yang pas dipake kopas, otaknya lagi hibernate mode di dalam freezer.

    Tapi saya kemudian jadi berpikir, kenapa setakut itu sih? KENAPA?

    Mari kita mulai dari perkara budaya dan keyakinan. Se-insecure apa, selemah apa, dan sebodoh apa kita hingga kita harus khawatir akan langsung, secara serta merta, terpengaruh kebudayaan dan keyakinan orang lain.

    Jadi belajar ngaji dari level iqra sampai ubanan ini, apa faedahnya, kalau kemudian luntur karena, misalnya globalisasi.
    Masa iya ada bule, kiclik-kiclik-kiclik, datang sebagai turis misalnya… terus gaya hidup kita langsung jadi sok-sok bule gitu. Kayaknya temen-temen kita yang orang Bali tetep dengan harkat dan martabatnya sebagai orang Bali. Itulah kemudian Tuhan menganugerahkan tempat mereka jadi obyek wisata laris…. dan jangan lupa, dulu setiap UN, nilai UN tertinggi itu pasti punya anak Bali. Mama saya tuh dulu sampai bilang “Ini jangan-jangan Allah pun jadi sayang sama Bali, abis orang-orangnya gak ribet.”

    Tapi well, baiklah….
    Sebagai suku dan penganut agama mayoritas, saya emang ngerasa beberapa oknum dari kita mmmmm memang secemen itu sih. Lah, puasa aja manja sampe harus tutup-tutup warung. Kenapa? Liat orang haus terus jadi pengen buka gitu? Ish~ yaaaaa ampuuuuun anak TK nol kecil banget.

    Tapi ya sudahlah ya… mau gimana lagi coba. Konon, kita cuman bakalan naek kolestrol darah kalau mikirin orang-orang yang ignorant. Karena lagi koronce gini kan kesehatan mahal yang bok, mending kalem-kalem aja.

    Tapi saya lagi-lagi terganggu dengan jawaban takut pada tenaga kerja asing, warga negara asing, dan produk impor. Kenapa?

    Tanpa menampik bahwa, memang…. dan seringkali, pemerintah kita kurang bijak dalam memperhitungkan kesiapan sumber daya manusia dan industri dalam negeri (ini emang greget sih)
    Tapi… apa jangan jangan kita juga merasa bahwa kualitas kita memang masih “meh” aja. Atau akhlak kita yang memang masih harus ditadaburi dulu :’D

    Bayangkan jika kalian di dalam suatu kelas, terus kedatangan murid baru, dari luar negeri. Atmosfer sekolah dan kelas yang baik tentunya akan penuh dengan antusiasme. Semua murid veteran akan mencoba membuat si murid baru nyaman, kemudian saling ngobrol, rumpi, kenalan, dan tanya-tanya.

    Tapi bisa juga, si anak baru ini kemudian kena bully habis! Tidak ada yang berteman dengan si anak baru.
    Setidaknya ada 3 alasan.
    1. si anak baru ini memang nyebelin, gak mau kerja-sama. Yaaaaa…. kita-kita kan jadi males juga ya nemenin yang model gini.
    2. anak-anak di kelas memang pada dasarnya badung-badung, dan gak suka aja sama orang yang “bukan golongan kami.”
    3. si anak baru ini rupanya pintar, lalu menarik perhatian bapak ibu guru! Anak-anak lama mulai geram dan iri “Cih, anak baru…. bisanya cuman cari perhatian aja!”

    Masalahnya, kita ada di kasus yang mana? Apa jangan-jangan… jangan-jangan…. kita cuman iri dengki aja dengan orang-orang yang kayaknya kemampuannya lebih aduhai daripada kita.

    Jujur saja, saya pribadi sering loh merasa iri AHAHAHHAHAHAHA.
    Karena sejak sekolah saya bukan anak yang pintar, dan “B” aja, terus sering kena terapi “Jambak rambut kribo” sama Mama saya, saya tuh suka meratapi kebodohan-kebodohan saya. Saya kerapkali membandingkan diri saya dengan orang lain.

    Nah… sejak saya SMA, saya selalu kagum dengan sebuah sekolah katolik yang tetanggaan dengan SMA saya dulu. Kok ya anak-anak di sekolah itu menang olimpiade sains terus ya. Ini apa harus pindah agama biar bisa pintar berhitung. Mereka makan apa ya kok bisa pada pinter, kayak pula. Ya Allah…. saya ini loh, itu 9+ 7 aja kadang mesti pake kalkulator.

    Sampai S3 kelar, saya masih terperanjat dan suka sedih sendiri, “Ini kok saya gak pinter-pinter ya.” Kalian suka denger dong, Asian are so good in Math! Ini kayaknya “Asian”nya para East-Asian ya, soalnya… yang model-model kayak saya kayaknya gak masuk sample. Nah, riset saya ini kebetulan erat kaitannya dengan ekonomi, matematika, dan statistik. Dan tentu saja…. rasanya dikuasai oleh rekan-rekan saya yang dari Cina, Singapura, Malaysian Chinese, Korea, dan Jepang. Tinggalah tante emon yang bagaikan Timon di sarang hyena…

    But they are so smart! Dan secara fair, dan kalau saya bisa… kayaknya saya mau standing applause. They are really really really really really smart. Dan saya berani untuk memuji mereka terang-terangan loh.
    Dan itu titik dimana saya percaya bahwa perjalanan saya untuk belajar masih panjang. Kalau saya kebanyakan galau, sedih, menyalahkan diri sendiri, saya tetep disini-sini aja. Malah mental health yang kena. Sedangkan mereka moving forward, getting greater and awesome.

    Saya selalu bilang “Okay Emon, jangan kalah. Suatu waktu, harus mencapai kualitas yang lebih baik dari mereka-mereka yang lo bilang keren.”

    Bisa gak ya? Ya gak tau… tapi toh, harus dicoba kan ya. Karena iri, misuh-misuh, gamang, dan aneka toxic positivity itu rupanya…. rupanya gak bawa kita kemana-mana.

    Dulu, salah seorang teman saya bilang “Mon, suatu hari kamu akan ‘ngeh’ dan bilang ‘Ooooooooh gini toh’ sama hal-hal yang ditakdirkan Allah buat kamu.”

    Dan itu benar! Cuman terkadang kita tidak cukup sabar. Terkadang, menyalahkan itu memang lebih gampang aja.

    Menyalahkan keadaan, sampai kemudian menyalahkan Tuhan, “kenapa harus gini sih? kenapa harus gitu sih?”

    Kembali lagi ke topik kita semula.
    Kenapa ya kita begitu phobia pada banyak hal.

    In my personal case, mungkin karena memang banyak yang blurry aja kedepannya bakalan gimana sih? Duh ini aja udah seberliku-liku ini…. jangan-jangan kedepannya makin ribet.
    Wajar kok, karena di muka bumi ini tidak ada yang pasti, selain ketidakpastian itu sendiri.

    Eh… tapi…siapa tahu kita pun tidak seremeh yang selama ini kita duga. Siapa tahu, rupanya pemikiran kita, mental kita, fisik kita, lebih kuat dari yang siapapun tahu. Kata Mama, kalau masih sama-sama manusia, masih di planet yang sama, pasti sama-sama punya waktu 24 jam dan liat matahari yang sama.

    Maka kita bisa melakukan apa yang orang lain bisa.
    Maka kita bisa melakukan sesuatu di luar ekspektasi dan batas-batas yang kita buat sendiri.

    Jangan meremehkan Tuhan dengan meremehkan kemampuan diri kita sendiri.

    ————-

    Tsukuba, Akhir Mei 2021.

  • Ramadan tahun ini lagi-lagi masih kurang lengkap, karena lagi-lagi…. gara-gara pandemi… saya gagal kembali ke rumah. Untuk membuat saya terdistraksi, Allah menyibukan saya dengan komentar reviewer yang pedas, sepedas keripik Mak Icih level 100. Mungkin kalau kalian bukan peneliti, kalian tidak tahu betapa getirnya mendapat kritik reviewer. Dan kritik itu harus dibaca berkali-kali karena kalau kita mau karya kita publish, kita harus membuat komentar detil poin per poin. Membaca hal menyakitkan layiknya berzikir itu: Sakyiiiiiit!

    Ramadan tahun ini, yang sulit bukan menahan lapar dan dahaga, tapi emosi yang naik dan turun.

    Jangan tanya khatam Quran atau tidak, tarawih saja bolong-bolong.
    Sahur saja tidak pernah, jadi modalnya Cuma minuman ion yang bisa mengganti ion tubuh dan kulit bening seperti adek-adek JKT48.
    Jeleknya lagi, alih-alih ibadah yang khusyu’, kalau sudah capek saya malah marathon nonton drakor. Dari Vincenzo, Navillera, sampai Mouse. Gila! Yang kayak saya-saya gini nih yang bisa bikin drakor jadi “haram.” Bukan drakornya yang salah, saya yang dodol dan terlalu mudah luluh lantak dengan pesona Oppa Vin dan termakan penasaran gara-gara oppa Jung Ba-Reum. Tersesat oh tersesaaaaat~~~ astagfirullah!

    Tapi dua minggu terakhir, saya bertekad “Gak bisa gini, Mon. Lo harus bisa merevisi sesuatu dari ibadah lo selain revisi paper lo.”
    Dipikir-pikir, revisi paper, walau itu penting banget untuk karir dan tanggung jawab saya. Tapi pun ditolak (walau jangan dong please), masih bisa submit di jurnal lain. Tapi ibadah di bulan Ramadan, waduuuh… belum tentu umur sampai Ramadan tahun depan.

    Tapi karena waktu sudah mepet, impian saya tidak muluk-muluk: Saya mau dengar bacaan shalat saya sendiri. Terutama saat shalat di rumah. Saya penasaran.

    Ramadan hari ke-17, nuzulul Quran. Untuk kalian yang non-Muslim, jadi Ramadan hari ke-17 itu adalah saat Al-Quran diwahyukan kepada Rasulullah SAW. Pokoknya sakral banget deh.
    Nah, kebetulan! Sebagai orang yang belajar music, saya tentu punya voice recorder dan clip on. Saya rekam bacaan shalat tarawih saya.

    Dan setelah saya dengar lagi…. rasanya mau nangis!
    Bacaannya terkesan terburu-buru, dan ayat-ayat yang dipanjatkan mandek di Al-Ikhlas dan An-Naas. Untuk Allah itu baik loh, kalau tidak! Rasanya saya sudah dapat komentar lebih pedas daripada komentar reviewer untuk paper saya.

    “Gila lo, Mon… masa buat Tuhan eh lo kayak gini.”

    Maka malam-malam selanjutnya saya bertekad, pokoknya pakai ayat-ayat lain dalam Quran. Pokoknya tiap rakaat shalat harus beda bacaannya.

    Kalian tahu apa yang terjadi? Saya baru ngeh kalau saya sudah banyak lupa dengan ayat-ayat pendek pada Quran.

    Saya loh! Saya berani diadu perkara etos kerja dan etos belajar. Pagi saya paksa diri diri saya mengerjakan riset. Malam saya belajar Bahasa. Akhir pekan? Saya belajar musik, masak, menggambar, membantuk koreksi tugas mahasiswa secara online. Saya bahkan lari dan kejar medali event-event lari!
    Eh, tapi saya lupa kalau perkara ibadah itu harus dikejar juga.
    Duuuuh… ayah saya penghapal Al-Quran loh, saya juga hampir sempat hapal juz 30. Tapi kemudian menunda-nunda untuk menuntaskan hapalan, eh akhirnya sampai sekarang deh.
    Terlena itu rupanya memang memabukan loh.

    Arghhhh…. Malu banget.
    karena saya tipe yang sangat keras pada diri sendiri, saya sempat down. Saya merasa kok saya tidak pintar dunia akhirat ya. Kenapa sih, kenapa Allah harus menciptakan seorang emon dengan begitu banyak kekurangan yang meh banget. Saya sampai dengar kursus bahasa Arab online hanya karena saya merasa tengsin dengan kualitas ibadah saya sendiri.

    Kalian pernah gak sih, berkontemplasi…. Terus kalian tiba-tiba sampai pada suatu poin dimana kalian tuh malu dengan kompetensi kalian sendiri. Kayak “Hei, kemana aja gue selama ini.”

    Proses kontemplasi belum kelar, eh dunia heboh dengan banyak hal.
    Ada feminis julid lah, ada roket jatuh lah, ada bipang lah, ada tsunami pandemi lah, kebijakan mudik gak jelas, ada pemuka agama yang sudah bagus-bagus mengayom anak muda eh tiba-tiba dihujat karena dianggap penganut aliran Islam yang berbeda.
    Yang lebih panas lagi!  konflik yang kemudian meledak lagi di Palestina. Sudahlah panas, eeeeh… di negeri Nirmala masih ada yang heboh saling menyalahkan ketika ada public figure yang belum atau tidak bersuara terkait kasus ini. Mereka itu siapaaaaa? Duta perdamaian PBB? Lempar lembing cap tarkam di media sosial tidak akan menyelesaikan dan membantu apa-apa. Ada loh fund raiser-fund raiser resmi yang mengumpulkan dana untuk proyek-proyek kemanusiaan. Sisihkan sedikit tabungan kita untuk itu. Semoga semua bisa tenang di hari Idul Fitri, semoga semua manusia di muka bumi ini bisa merasakan khidmatnya hari raya.

    Jujur saja, saya pribadi kayak…. “Ini manusia pada ngapain sih?”
    Apa sih yang ada di benak umat manusia yang ada di planet ini sampai kemudian sibuk menciptakan konflik  dan menghujat orang lain. Yang model-model begitu, kalau muslim, apa pernah denger bacaan shalatnya sendiri? Shalat yang hanya dilakukan untuk menggugurkan kewajiban, bukan sebagai media kontemplasi, meditasi, dan memperbaiki diri. Yang jangan-jangan, arti dan maknanya apa saja tidak paham. Yang jangan-jangan kalau ditanya “Tadi baca apa pas shalat?” terus blank “Hah apa ya?”

    Manusia yang sibuk merusak hubungan dengan manusia lain dan makhluk lain itu sadar gak sih kalau jangan-jangan, yang perlu dihujat itu yaaaa diri kita sendiri.

    Setidaknya bagi saya, saya merasa seperti tangkai cabe rawit di bungkus gorengan. Masih begitu remeh. Jangankan energi untuk meladeni orang lain. Untuk mengurusi kekurangan diri sendiri aja masih repot. Duh ini umat manusia tuh sedang apa? Mau apa?

    Perkara Idul Fitri bertepatan dengan hari kenaikan Isa Al-Masih saja heboh.

    Apa sih… apa yang ada di benak manusia-manusia ribet seperti itu?

    Saya jarang berbicara hal-hal terkait agama karena itu bukan kompetensi saya. Ayah saya yang hapal Quran saja selalu bilang “Ayah hanya hapal, untuk memahami dan membuat tafsir, itu ilmunya lebih tinggi lagi.” Jikalau antum-antum yang bacaannya hanya Qulhu sama An-Naas, itupun makhraj-nya blunder, percayalah bahwa kompetensi Anda begitu minim sehingga tidak sepantasnya menjustifikasi perkara dunia dan akhirat orang lain. Jangankan yang berbeda akidah, pemahaman untuk kepercayaan sendiri saja masih bobrok.

    Apa jangan-jangan mengoyok-oyok orang lain itu adalah manifestasi dari ketidakpiawaan dalam berilmu dan beragama.

    Saya punya teori, kenapa ada orang yang sedikit-sedikit marah meminta dihargai Ketika berpuasa, marah-marah Ketika ada warung yang buka, mengamuk Ketika ada yang beda dengan mereka.

    Karena jangan-jangan keteguhan jiwa dan iman mereka ya segitu saja, namun enggan mengakui dan enggan memperbaiki diri. Kalau jiwa dan pendirian seseorang teguh, secara logika, harusnya tidak mudah goncang diterpa ujian apapun. Mengapa orang lain harus repot dengan ke-cemen-an diri kita? Kenapa?

    Tapi iya sih, lagi-lagi mengeksternalkan kesalahan memang nikmat rasanya. Menjadi tidak tahu diri, memang terasa begitu ringan dan menenangkan -.-

    Saya kemudian punya pertanyaan yang baru. Apa sih yang salah dengan beragam perbedaan yang ada di hadapan kita?

    Kita punya impian-impian yang besar, bahkan perdamaian di muka bumi. Bahkan mimpi untuk melihat keadilan di bumi Palestina. Sebuah impian yang luar biasa mulia.
    Saya pun ingin melihat suatu Ketika, kita bisa tenang berkunjung ke sana. Seluruh umat baik muslim dan non muslim bisa ibadah tenang tanpa khawatir perkara apapun.

    Tapi kita bahkan belum selesai menyelesaikan konflik pada diri kita sendiri, pada metode berpikir kita. Kita bahkan belum selesai berdamai dengan konflik yang ada di sekitar kita sendiri.
    Kita bahkan belum selesai berdamai dengan aneka perbedaan yang ada.

    Bisakah kita memecahkan soal limit trigonometri, jikalau perkara tambah-kurang-kali-bagi saja masih sering salah. Mampukah kita menyelesaikan persoalan-persoalan yang rumit dan kompleks, ketikda permasalahan remeh temeh saja kita gelagapan?

    Bisakah? Waduh saya tidak tahu dan tidak punya kapasitas untuk menjawab hal tersebut.

    Sebelum saya menutup podcast kali ini, kalian tahu keputusan saya berhijab sesungguhnya karena dukungan dan perkataan teman saya yang Nasrani? Begini ceritanya.

    Saya sempat kesal luar biasa dengan beberapa oknum saudara seiman saya yang bagi saya, begitu merepotkan, ribet, dan bisa membuat frustasi.

    Sedikit-sedikit kristenisasi… sedikit-sedikit kafir…. Sedikit-sedikit haram… sedikit-sedikit sunni, syiah. Woi, maen jauhan dikit. Mahzab dalam Islam aja ada macem-macem. Ilmu antum kalau masih baru sampai ngetik di google sebaiknya kalem saja lah. Bayangkan! Kesal gak sih, ada sekelompok orang yang begitu percaya diri dengan pengetahuan mereka yang cetek. Itu luar biasa loh, tingkat kepercayaan diri yang patut diacungi jempol.

    Puncaknya, saya begitu marah karena saya yang dulu belum berhijab, berulang kali disindir dan dibilang “Duh kalau belum berhijab kan kasihan nanti ayahnya dimasukan ke neraka.”

    Saya saat itu geram! Bagi saya “Lo boleh mencaci gue, tapi jangan sekali-kali hina orang tua gue.” Saya saat itu merasa, kalau saya busuk, brengsek, apapun itu… saya berani mempertanggungjawabkan itu, bahkan jika harus dipanggang di neraka sekali pun. Oke! Jika saya yang salah, maka saya yang harus bertanggung jawab. Main yang fair lah. Kalau tidak bisa beradu argumentasi, jangan permainkan psikologis seseorang dong.

    Kesal dengan itu semua, dan merasa tidak “aman” untuk curhat dengan teman sesama Muslim, saya pun akhirnya menceritakan keluh kesah saya pada teman saya yang seorang Kristen. Kenapa bukan ke sesama Muslim?  Karena saat itu saya sempat berpikir…. siapa tahu saya sial, terus malah digosipin penodaan agama. Waduuuuh, masuk koran deh.

    Dengan kondisi selabil itu, teman saya bisa saja loh… bisa saja… bilang “Yok Mon, gabung klub domba tersesat.” Tapi tidak kawan… tidak. Dengan bijaknya teman saya itu bilang

    “Bukan agama lo yang salah. Bukan Tuhan lo yang salah. Yang salah adalah pemahaman beberapa orang terhadap seluruh konsep agama lo yang mulia.”

    Saya ingat betul, itu jawaban paling bijak yang pernah saya dengar dan ingin saya dengar. Saya ingat betul dia juga tanya

    “Mon, gw bisa liat loh, lo begitu bangga pada Tuhan lo, pada agama lo. Lo cuman keliatan sewotan aja, tapi hati lo penuh kasih. Semoga lo bisa menjalani keimanan lo dengan lebih baik ya. Islam butuh orang-orang seperti lo. Dunia, butuh orang seperti lo. Semoga Tuhan menuntun jalan lo ya.”

    Hal itu cemen dan sederhana banget, tapi itu hal yang saya tunggu datang dari mulut temen-temen Rohis saya. Orang-orang yang malah sibuk mengurus metode berpikir saya, yang sering dibilang, terlalu liberal.

    Saya kemudian berhijab sejak 25 Desember 2012. Dan kalau kalian tanya kenapa seorang Emon begitu ambisius untuk jadi peneliti yang Go internasional dan gak kalah sama tante Agnez-Mo… Itu karena saya ingin membuktikan apa yang teman saya bilang, kalau dunia ini butuh juga manusia saya seperti saya. Saya ingin sempat memperkenalkan diri pada dunia, sebagai wanita, sebagai Indonesia, sebagai Muslimah.

    Gak tau kapan… tapi itu jalan ninja yang sudah kupilih AHAHHAHAHAHAHA.

    Jika saja… jika saja saya terjebak pada pola pikir sempit yang terlalu berfokus pada perbedaan. Mungkin saya tidak pernah bertemu dengan teman saya tersebut. Mungkin… saya bukanlah emon yang setangguh ini.

    Semoga kalian, lebih beruntung dari saya. Menemukan hal-hal ajaib yang mengubah kita jadi lebih baik.

    Saya tante emon, selama hari raya Idul Fitri. Semoga kita bertemu dengan aneka cerita di lain hari.

  • Saya sungguh tidak percaya bahwa harus secepat ini mengeluarkan artikel Emonikova Investigasi. Tadinya tuh mau ngobrol santai tentang buku atau film seru yang bisa dicoba menemani hari. Atau bahas tentang pelajaran Bahasa saya yang mentok-mentok itu. Eh… ada berita Bapak Moeldoko yang sepertinya tersinggung dengan hasil perhitungan Bloomberg yang memprediksikan Pandemi di Indonesia akan berakhir kurang lebih setelah 10 tahun.

    Saya kemudian mencari-cari publikasi yang dimaksud, dan membacanya seteliti mungkin. Sebagai peneliti, saya rasa tidak perlu ada yang tersinggung, apalagi menyuruh Bloomberg untuk belajar ke negeri oki dan Nirmala.

    Justru kita yang harus belajar cara membaca hasil suatu penelitian.

    Saya percaya Pak Moeldoko begitu sibuk mengurus negara yang indah ini,  mana sempat membaca semua hasil riset di muka bumi ini. Saya juga jadi agak sebal dengan jurnalis, yang saya bayangkan pertanyaannya berkisar “Pak, kata Bloomberg, Indonesia baru beres pandemi 10 tahun, Pak. Bagaimana menurut Bapak?”
    Ya Bapaknya langsung kaget lah, dan respon yang wajar sih menurut saya. saya juga kalau jadi Beliau bakalan misuh-misuh, apa maksudnya Bloomberg ngomong gitu. Apalagi Bapaknya dulu orang militer. Ya darah menggelegak lah.

    Tapi rupanya Bloomberg tidak berbicara SEGITUNYA loh Sodara-Sodara!

    Seperti biasa, saya tidak bisa membiarkan masyarakat Indonesia, emm setidaknya followers saya di media sosial, tidak teredukasi dengan baik, maka saya yang akan menerjemahkan hasil penelitian Bloomberg agar lebih mudah dimengerti oleh kita semua. Supaya kita gak gampang emosi, dan malah menurunkan imun tubuh.

    Untuk kalian yang kepo, kalian bisa mengunjungi hasil perhitungan Bloomberg terkait pemberian vaksin ini di internet. Cukup ketikan kata kunci covid vaccine tracker global distribution Bloomberg di mesin pencarian kalian. Nah pasti ketemu tuh.

    covid

    Laman tersebut hanya memberikan hasil perhitungan Bloomberg terkait sebaran dan kecepatan pemberian vaksin di seluruh dunia. Dengan data tersebut, Bloomberg memproyeksikan seberapa lama sih vaksinasi ke 75% populasi seluruh negara bisa tercapai, dan seberapa lama suatu negara bisa meraih herd immunity.

    Nah penjelasan pendukungnya, bisa dibaca di artikel lainnya yang terkait.
    Saya membaca prognosis “When will life return to normal? In 7 years at today’s vaccine rates.”

    covid2

    Karena biasa membaca jurnal, membaca artikel ini sih respon saya hanya “Ooooooooh….” Karena Bloomberg toh membeberkan keterbatasan studi mereka

    “Bloomberg’s calculator provides a snapshot in time, designed to put today’s vaccination rates into perspective. It uses the most recent rolling average of vaccinations, which means that as vaccination numbers pick up, the time needed to hit the 75% threshold will fall. “

    Bloomberg Covid-19 Tracker

    Mereka juga bilang

    “The calculations will be volatile, especially in the early days of the rollout, and the numbers can be distorted by temporary disruptions.”

    Tom Randall- When Will Life Return to Normal? In 7 Years at Today’s Vaccine Rates (Bloomberg)

    Nih kalau gak paham Bahasa Inggris, kebiasaan orang Indonesia juga kan suka males kalau artikel tuh bukan Bahasa Indonesia. Artinya, rate ini dihitung linear saja, dengan menggunakan rate vaksinasi saat ini. Ya wajar lah hasilnya sampai bertahun-tahun, wong semua negara masih dalam tahap awal vaksinasi. Ya kan?

    Karena data yang terbatas, ada beberapa negara yang rate vaksinasi hariannya mengalami trend stagnan bahkan penurunan. Makanya kemungkinan over-estimated-nya gede banget. Contoh untuk perhitungan Canada, mereka juga diprediksi jika masyarakatnya mencapai herd immunity itu sekitar 7 tahun. Nah gak jauh beda sama Indonesia toh? Kenapa? Karena pada saat periode perhitungan, Canada sempat mengalami kendala logistik.

    Nih biar kebayang, misalnya sample yang diambil selama 1 minggu nih. Nah pas lagi periode observasi di Canada, di 3 hari pertama vaksinasi lancar jaya, eh 4 hari kemudian eeeh ada longsor, badai salju, dsb gak ada vaksinasi toh? Masa ada yang mau vaksin pas badai salju.

    Jika kemudian jumlah vaksinasi Canada sebenarnya 100 dosis perhari, maka kalau 1 minggu idealnya mencapai 700 dosis toh (termasuk weekend, jadi 7 x 100). Naah gara-gara gangguan logistic, dalam seminggu itu Canada cuman berhasil kasih vaksin 300 dosis (karena efektif ngasih vaksin selama 3 hari). Namanya statistik, ya gak pake tendeng aling-aling, tetep aja yang diambil nilai rata-rata pemberian vaksin selama waktu observasi. Ya jadinya kecil banget ratenya. Yang harusnya 100 dosis/ hari eh jadi kehitung sebagai 42.9 dosis perhari. Jauh toh? Ya iya… memang! Dan itu sudah disebutkan oleh Bloomberg sebagai keterbatasan mereka.

    Namun apakah Pak Justin Trudeau ngamuk ke Bloomberg dan bilang, “…Bloomberg, sini sampeyan belajar dulu ke Canada.” Kan gak… karena memang bukan hal yang perlu diperdebatkan. Jadikan bahan muhasabah aja, “Oh iya juga ya, kalau pace kita segini keteter sih emang sih.”, “Duh kalau ada gangguan logistik lagi, kelar sih kita.”

    Kalau misalnya kemudian tiap negara bisa mempercepat pacenya, ya Alhamdulillah…. Itu yang diharapkan kita semua, termasuk Bloomberg.

    Selain itu, mereka menyebutkan, tidak memperhitungkan populasi yang punya natural immunity karena sempat terserang covid, anak-anak, dan lansia. Jadi dipukul total rata aja total populasi.
    Walhasil rate vaksinasi berbanding lurus dengan jumlah populasi, iya toh?

    Nah ini gimana nih Indonesia. Kok ya bisa 10 tahun? Dari data Bloomberg. Sejauh ini, baru 0,3% populasi yang dapat vaksin dosis pertama, dan 0.1% yang dapet dosis kedua. Populasi Indonesia ada 270 juta orang. Coba ya kita hitung kasar, kalau ratenya vaksinnya 0.1% per hari aja. Yang kelar vaksinasi butuh 1000 hari, itu udah hampir 3 tahunan gak sih? Nah….itu belum nunggu sampe ngebentuk immunitynya. Emangnya setelah divaksin langsung jadi iron man gitu? Kalau mau kayak gitu makan odading mang Oleh aja.

    Ini juga salah kaprah tentang vaksin, vaksin tidak membuat kita jadi manusia kebal virus. Gak, gak gitu ceritanya… masih bisa kena, hanya saja, mungkin tidak se-fatal jika tanpa diberikan vaksin. Saya gak berani ngomong banyak, that’s not my field. Tapi konsep utamanya seperti itu.

    Jadi nanti kalau kalian di vaksin, eh terus beres itu jorok lagi, yaaaaa masih bisa terserang virus. Bahkan mungkin virus strain baru. Jadi protocol Kesehatan wajib terus diresapi hingga kapanpun.

    Balik lagi ke drama kumbara “Bloomberg” ini. Selain itu, rasanya kita sudah berkali-kali mengolok-olok “warning” dari para peneliti ya. Dulu pas ada ilmuwan yang bilang berdasarkan hasil perhitungannya covid harusnya udah menclok di Indonesia, eeeeh… malah diketawain, malah diejek-ejek. Padahal kalau kemudian dulu didengar, dan dipikir “Oh iya ya, wah harus waspada nih.” Mungkin kita udah bisa happy-happy seperti teman-teman kita di Vietnam.

    Maksud penelitian itu baik loh, ingin memberikan warning. Itu saja.

    Sudah saatnya, pemerintah dan masyarakat untuk belajar. Belajar mendengarkan. Jadi peneliti itu sulit loh. Belajarnya lama, dapat karir yang pas dengan expertisenya juga sulit, nulis hasil riset juga kena reject berkali-kali. Eh, pas niat baik mau mengedukasi masyarakat malah dijulidin.

    Jadi kalau kalian tidak menghargai mereka…yang kalian lakukan itu jahat….
    Menghargai itu bukan selalu harus selalu setuju loh. Disagree juga gak apa, tapi jangan diolok. Kalau dalam dunia kami, aturan silatnya adalah, kalau mau tidak setuju, maka lawan dengan bikin paper lagi. Nah itu! Elegan… tidak saling menyakiti. Perangnya pakai bukti ilmiah.

    Dan untuk media, tolong lah lain kali kalau mau wawancara policymaker juga baca dulu bahannya dengan teliti, agar punya pertanyaan yang lebih jitu dan cerdas.  Saya rasa akan lain sekali ceritanya ya jika pertanyaannya adalah “Pak, menurut proyeksi Bloomberg, penanganan covid-19 akan lebih menantang untuk negara-negara yang memiliki kendala logistik. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia, apalagi dengan jumlah populasi yang besar, hal-hal apa saja yang sudah dipersiapkan pemerintah untuk mempercepat distribusi vaksin?”

    Kan enak…. Cerdas… keliatan udah baca. Pak Moeldoko itu ya sibuk, gak bisa baca semua paper, jurnal, berita… maka pertanyaan yang baik harus setidaknya memberikan rangkuman “Ini loh Pak tantangannya ini.  Bagaimana tanggapan Bapak?”

    Maka adem, tenang, gemah ripah lohjinawi. Semuanya dapat informasi. Masyarakat dapat literasi dan tambahan ketenangan “Oh pemerintah gw siap nih. kereeeen.”

    Begitu, gak semua harus diterjemahkan dengan urat :’D

    Saya tante emon, dan semoga gak sering-sering ada case yang saya harus jelaskan ya :’D cappppeeeeek~~~